Monday, May 21, 2012

When the Rainbow Didn't Come



Kalau saja aku seorang kaum adam,
mungkin aku tidak akan seperti ini,
Menunggu datangnya pelangi sekalipun gerimis tidak berniat untuk turun.
Kalau sudah seperti ini,
adakah yang bisa menghentikanku untuk memanggilnya?

Saat sebuah rasa mulai tumbuh disini, aku hanya mampu diam. Memendamnya, mengurungnya, menutupinya lalu membiarkannya membakar rasaku hingga ke akar-akarnya. Menciptakan sebuah sensasi tekanan luar biasa, lalu memaksaku untuk diam-diam tersiksa didalamnya. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana?
Menciptakan medan magnet yang mampu menarik kutub positifnya? Ah, tidak. Aku bukan kaum hawa yang mahir merayu. Lantas? Diam tanpa berbuat apa-apa? Astaga, tidak. Kurasa hal ini tidak berguna sama sekali. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Menunggu. Ya, kurasa itu adalah jawaban tunggal. Tidak ada option lain disini. Ini bukan multiple choice. Bukankah kaum hawa diciptakan hanya untuk menunggu dan menjawab tiupan dari sang adam?
Ya, mungkin memang begitu adanya. Tapi, bagaimana jika sang pelangi tak juga muncul ? Haruskah aku menyaksikan titik-titik gerimis itu menjadi hujan? Jika iya, apa yang bisa kulakukan untuk merubahnya?
Sudahlah, biarkan saja. Biarkan ia melunturkan butir-butir air mata didalamnya, melarutkan kekecewaan bersamanya, dan membiarkan segumpal rasa cinta itu meluruh dengan sendirinya.
Cinta? Apakah benar jika rasa itu kusebut sebagai cinta? Ah, tidak. Kurasa bukan. Kalimat itu terlalu saru untuk kuucapkan. Aku hanyalah seorang dari ribuan kaum hawa yang masih menata nafasnya secara horizontal. Lalu, jika bukan cinta lantas apa namanya?
            Entahlah, akupun tidak tahu. Bagaimana menurutmu?

No comments:

Post a Comment

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...