Wednesday, November 7, 2018

Journal of Twenty Two Life: Talking about "Losing Someone"



(Kredit foto: Josh Felise)

“I think the hardest part of losing someone, isn’t having to say goodbye, but rather learning to live without them. Always trying to fill the void, the emptiness that’s left inside your heart when they go.”
 –Unknown--

Hi, talking about ‘losing someone’ (re: parent who already passed away), do you ever tried to fill the emptiness that’s left inside your heart? If you do, what is your best thing to do?
I have two things to do. First, I keep learning to live without them. Second, I give my live to my family who still "beside" me. And today, I would like to tell you the second one. About giving my live to my family.

****

Akhirnya aku tahu Mamaku sakit apa. Tadi aku habis nganterin ke rumah sakit.”

Dua minggu yang lalu, kalimat tersebut dilontarkan teman saya secara tiba-tiba. Sejujurnya, saya cukup terkejut ketika dia dengan begitu santainya membuka pembicaraan mengenai penyakit Ibunya. Namun, saat itu saya hanya diam dan mendengarkan dia yang sedang bercerita dengan tenang. Dia bahkan sesekali masih tertawa kecil untuk beberapa hal yang dianggapnya layak untuk ditertawakan. Melihat caranya bercerita, tiba-tiba ingatan saya langsung berjalan mundur pada kejadian 8 tahun yang lalu, ketika Mama saya divonis penyakit yang hampir sama.

Saat itu saya hanya tinggal berdua dengan Mama saya karena kakak pertama saya kuliah di Jogja sementara kakak kedua saya sekolah di Amerika. Singkat cerita Mama saya memberi tahu tentang sakitnya pada malam hari. Paginya beliau harus segera operasi di luar kota dan saya tidak boleh ikut karena harus bersekolah. Sampai di sekolah, temen-teman dekat saya bertanya ada apa karena menurut mereka saat itu saya sedikit berbeda. But at that time, I said I'm okay. Of course I told them about my Mama’s surgery, but I said I’m okay.
Karena ketika itu saya akan menghadapi UN SMP dan pengobatannya Mama berada di Madiun, jadi saya tinggal di rumah Ponorogo sendiri untuk beberapa waktu. Di waktu tertentu, saya pergi ke Madiun menggunakan bus dan langsung turun tepat di depan Rumah Sakit tempat Mama saya dirawat.

Ketika itu banyak teman-teman, tetangga dan beberapa guru di sekolah yang khawatir dengan keadaan saya.  Secara konstan, mereka menayakan keadaan saya. But at that time, I told them I'm okay.
Sejujurnya, waktu itu saya sebenarnya tidak baik-baik saja. Tapi karena saya tidak suka ditanya banyak hal serta tidak nyaman dikasihani, saya selalu bilang kalau saya baik-baik saja. Dan, itulah yang saya lihat dari teman saya ketika dia bercerita tentang Ibunya. Sekalipun dia bercerita dengan tenang dan santai, saya tahu itulah cara dia untuk membuat teman-temannya tidak ikut khawatir.
Dan pada akhirnya, kemarin, Allah memilih untuk ngambil Ibunya. Sementara teman saya, masih dengan gaya tenang dan santainya, bilang bahwa dia sudah ikhlas. Ikhlas untuk melepaskan Ibunya. Ikhlas untuk berhenti mengejar mimpinya bekerja di luar Jawa demi hidup dekat dengan keluarga dan makam Ibunya. It was so hurt breaking, really :")) Because I know her. More than that, because I feel her. Semua, yang dia ceritakan mulai dari kejadiannya, cara dia bercerita tentang masalahnya, dan cara dia bilang bahwa dia baik-baik saja, membuat saya terenyuh. I see the old me in her eyes, bahwa pada kenyataannya semua tidak baik-baik saja.

Sejak Papa saya meninggal 13 tahun yang lalu dan sejak Mama saya juga nyaris menyerah dengan penyakitnya 8 tahun yang lalu, saya jadi bisa merasakan perasaan orang-orang terdekat saya yang sedang mengalami hal yang sama. I know how heartbreaking it is. I know how hard to handle the pain.

Jadi, buat kalian, yang masih memiliki orang tua lengkap dan sehat wal afiat, jangan sungkan untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang kalian kepada mereka. Kita tidak ada yang tahu sampai kapan akan diberi kesempatan untuk berbakti dan menikmati waktu bersama orang tua. Menyesal selalu datang belakangan. Dan untuk kalian, yang mungkin pernah menganggap cemen dan mental tempe orang-orang yang tidak bisa tinggal terlalu jauh dari keluarganya, jangan berfikir negatif dulu. Siapa tahu orangtuanya tinggal satu dan uang serta kesuksesan tidak bisa membeli kebahagiaannya yaitu hidup dekat dengan keluarga.



Friday, September 28, 2018

Journal of Twenty Two Life: When Tomorrow Becomes Vague



"I think your 20's are the hardest part of life. I mean, everyone goes on about how hard it is to be a teenager, but actually I think it's tougher to be in your 20s because you're expected to be a grow up and expected to earn your own living and be successful and I think you feel like a kid still" 
-Nigel Cole-

Yeah, then right after I read those quote, suddenly I wanna back on my childhood…

Oh anyway, hi! My name is Aini. I’m 22 years old right now. I just graduated from my collage life last month. And now, I currently working in one of Company in my country, Indonesia as marketing staff. The fun fact was, I graduated as Bachelor of Education and (supposed to be) a teacher. Yes, (it supposed to be). That the main reason of my Mama why she choose those major for me 4 years ago. Because she want me to work in Education field as my Papa did. But unfortunately, I have my own dreams. I used to dream to get Bachelor of Communication. Because I do really love public speaking and I interest in Marketing stuff. Even God finally guided me on History Education instead of Communication Sciences, but today here I am, working as Marketing staff. 

After I struggling on my 4 years and finally got what I’ve been dreaming of, I should be happy and proud, shouldn’t I?But here I am, walking with anxiety and feel being lost. I used to know who I am, who I wanna be, what I wanna do and where I gonna go. But then, suddenly there were hundred random thoughts on my mind and it kill me for sure.

“Is it good enough for me? Am I good enough for this job? Should I leave? Or should I stay? Should I try to be patient? Or should I give up from this way? Is it all what I want? Or is this all what I need? Am I happy enough for all of this? Am I the one who feel uneasy? Or am I just didn’t find a good place yet?”

All those questions pop up on my mind every day. Meanwhile, I couldn’t find anyone to find the answer. Why? Because everyone is struggling with their own life and because I’m the one who know the best answer of all those questions. Usually, I write down all of my insecurities on my note or blog. But lately it feel so difficult. Whenever I take my pen and note to write, everything suddenly become vague. Then I tried to read several books to find another way, but sadly, all those insecurities still staying on my mind and pop up in the morning with the same questions.But today, I found a magic note from a book that I’ve read some hours ago. The title was “Dear Tomorrow” by Maudy Ayunda. It wrote:

“Your self may not be something that you can find it may not exist. It is a combination of what you do, what you stand for, and who you want to be. In other words, your self is for you to define –not for you to find. So instead for looking within, look outside and find yourself while you learn more about the world. What characters attract you, what actions inspires you. Once you have, strive to be just that.”

And as expected, I feel more calm after I read those quote. Once again, book saved me. It help me to find the right answer. Even for the super random question of life. Is it interesting, isn't?

So dear my friends who feel the same feeling like me, 
Listen, you are not alone. If peoples around you couldn't answer your random thought, just start to read several books and try to have a good journey with your deep heart.

And dear my self...
Could you just enjoy your life just the way it is?
You just need to do as the best you can and see where God would guide you.

Yogyakarta, 3 September 2018

Wednesday, August 1, 2018

Journal of Twenty Two Life: Understanding




I never bored to tell my self to understand,
What is life through my lens.
Recently, I quite often captured a beautiful-happy face yet broken soul inside.
Then, I realized nobody have a perfect life.
It may perfect outside, but nobody knows what happen inside.
As often as I found my self cried in anger and disappointment.
No, I’m not angry and disappoint with her.
I was angry and disappointed with my self:

Why I couldn’t handle my feeling better?
Why I couldn’t accept everything just the way they are?
Why I couldn’t realize that everything is always happen for a reason?

But however, saw a broken life of your best friend was not an easy case.
As not easy as stand by her side in her truly condition.

The truly condition that she was wrong,
The truly condition that you honestly hate what she did.

But in the other way,
You also know that she need you so much.
That she need you to help her,
to fix all those broken heart.
to fix her broken life.

Dear my self,
Could you try to understand this part of life?


Yogyakarta, 21th July 2017

Tuesday, July 31, 2018

Jadinya Abu-Abu

Hatimu bilang jangan
Tapi kau malah berhenti
Hatiku bilang tunggu
Tapi aku malah siap-siap untuk pergi
Lantas, kapan bisa bertemu?
Sudah tahu jarak dan waktu sudah mengutuk habis-habisan sejak dulu
Bukannya berlari mengejar
Justru, malah sibuk menyelimuti ragu
Sudah tau ragu, tapi malah digugu
Mau tak mau, akhirnya jadi abu-abu


Ditulis di:
Yogyakarta, 6 Oktober 2017

Tenggelam


Jika orang bilang menulis itu merapikan kenangan, maka aku ingin berujar bahwa membaca membuatku tenggelam. Seperti beberapa hari belakangan ini, ketika kuputuskan berkata “iya” kepada jiwa yang izin hendak bersua. Bohong kalau kukatakan bahwa aku tak tenggelam. Hatiku lebih dari sekedar paham untuk menjelaskan sejauh mana ia telah menelisik jauh ke dalam. Kalau ini bisa disebut jatuh cinta, maka ingin ku ucapkan selamat kepada hati yang sedang berbunga. Kini, si hati menyadari, bahwa memang benar cinta  tak harus memiliki. Aku terlalu lama terperangkap dengan definisi cinta yang “saru”. Yang menuntut untuk begini dan begitu. Nyatanya mencintaimu itu sederhana. Tidak perlu takut kau pergi, pun tak perlu takut kau akan mati. Kalau-kalau si hati ini sedang demam merindu, ia hanya butuh menenggak tulisanmu. Kembali membaca dan tenggelam. Semakin menelisik ke dalam, dan hanyut secara diam-diam.

Saturday, June 9, 2018

Tentang Bulan dan Rasa

Bulan terus berputar dengan siklusnya
Tak selaras dengan rasa yang hidup pada manusia
Jikalau bulan punya ketentuannya,
maka rasa tak ada aturannya
Ia tumbuh tanpa hukum yang mengikat
Kapan saja bisa mati, bisa benci,
atau bahkan bisa berubah jadi cinta penuh arti

Koma,

Aku mencintaimu dengan tanda koma,
agar rasa tak bersua dengan "usai" yang seutuhnya
Aku memang sengaja menaruhnya di sana,
agar kalau si hati sedang lelah mencinta,
ia punya celah untuk sebentar saja menjeda 

Saturday, June 2, 2018

Journal of Twenty Two Life: Di Luar Kendali



Aku sedang jengah. Jengah pada semesta yang akhir-akhir ini tidak berpihak pada usaha. Ketika semua daya, doa dan upaya telah ditempuh, seharusnya semua berjalan sesuai rencana. Begitu, kan seharusnya?

Man jadda wajada, berkali-kali kuucap mantra itu. Dan aku memilih untuk percaya padanya. Seutuhnya. Namun ia seakan membelot. Mempermainkan keyakinanku, lantas menggodanya agar runtuh tepat dihadapanku.

Sungguh, ia memang benar-benar tahu bagaimana cara menguji. Ia tahu kesabaran milik siapa yang layak dieksekusi.

Namun sekali lagi, aku (masih) memilih untuk percaya. Sekalipun sedang jengah. Sekalipun semesta belum juga berpindah arah.

Yogyakarta,
Ditulis ditengah-tengah penantian yang panjang.

Journal of Twenty Two Life: Siklus Kehidupan: Tentang Sebuah Kematian



Apa yang kalian pikirkan pertama kali jika mendengar kata “kematian”? Sebuah tangisan? Ketakutan? Kesedihan? Atau kehilangan?
Maka aku memilih untuk menyebutnya sebuah kegelapan.

Jika kalian cukup mengulik jauh blog ini, maka kalian akan menemukan banyak luka yang menguar. Luka tentang kematian dan kehilangan, luka yang bertahun-tahun selalu kucoba untuk disembuhkan. Maka setelah sekian lama aku tidak membicarakannya, malam ini, entah mengapa aku ingin kembali bergumul dengannya.

Aku tahu, kematian memang sesuatu yang pasti. Pun dengan yang namanya kehilangan. Dengan gamblang, Sapardi Djoko Damono bahkan mengungkapkan bahwa ketakutan terhadap kematian dan kelahiran merupakan hal yang sangat wajar, yang sama sekali tidak bisa dipahami namun pasti akan terjadi. Aku bukan seorang filsuf yang menurut Sapardi sudah cukup akrab dengan pembahasan tentang tiga serangkai yang pelik nan muskyil yaitu: lahir, hidup, mati.
Pun, aku bukan sastrawan layaknya Amir Hamzah yang mampu menghidupkan keambiguan antara ketakutan dan kesiapan terhadap sebuah kematian. Syairku belum mampu menandingi sajak "Karikatur Orang Kedinginan". Aku hanyalah aku, seorang gadis yang mencoba berobat dengan rentetan kata, yang rajin ia susun agar lupa rasanya sakit karena luka.

Aku sempat mengira bahwa kematian yang lalu-lalu sudah cukup mampu menegarkanku. Tapi nyatanya tidak. Kuakui aku masih takut bertatap muka dengannya.
Akhir-akhir ini, entah mengapa bayangan salah seorang terpenting di hidupku terus berkelebat. Frekuensinya semakin hari semakin hebat. Membuatku tidak tenang dan semakin diliputi oleh rasa ketakutan. Kemudian aku tersadar, bahwa sekeras apapun kusamarkan, ‘ia’ memang tidak berkendak untuk pergi seutuhnya. Lantas ketika bayang-bayang kematian kembali muncul, aku jadi kelimpungan dan semakin tidak karuan.

Teruntuk, hati yang belum pulih seutuhnya. Kau masih mau berjuang untuk menyembuhkannya, bukan



Yogyakarta, 2 Juni 2018
Ditulis ketika semakin takut untuk kehilangan Eyang Putri.

Saturday, May 12, 2018

Journal of Twenty Two Life: I Love The Time When I'm on The Train



I love the time when I'm on the train
Look at the window and see the sky,
trees,
mountain,
field,
river,
road,
building,
car,
motorcycle,
bike,
bus,
truck,
container,
and peoples.


I love the time when I'm on the train
Look at the sun come down,
bring the blue color,
then paint it with yellow, 
change it to orange,
then red,
then turn into black,
and suddenly become night.


I love the time when I'm on the train 
Sitting on the seat and date my thoughts
Talking to my deep then thinking out loud
..............
"What I really wanna be?"
"Why this 22 life is so scary?"




Behind window's train. On my way to Yogyakarta.
12th May 2018.

Saturday, May 5, 2018

Journal of Twenty Two Life : Prolog



Ketika tulisan ini berhasil diposting, itu tandanya aku menang. Aku sudah berhasil menyisihkan sedikit ruang hatiku untuk berbincang, untuk sekedar berhenti sejenak dan bersyukur. Untuk bertemu dan berdialog lebih dalam dengan “aku”, sebuah jiwa yang sedang berpendar ditengah kesemuan yang fana.

Tulisan-tulisan yang selanjutnya akan kusatukan dalam seri “Journal of Twenty Two Life”, sebuah tulisan sederhana yang ingin kusimpan baik dalam blog ini. Tunggu sebentar, ini tidak akan menjadi sebuah tulisan ataupun jurnal motivasi. Aku hanya ingin menulis dan mengajak jiwa-jiwa yang sedang dirundung kesemuan untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Untuk menemukan apa yang sebenarnya ingin ia cari, untuk memahami apa yang seharusnya dimengerti.

Jangan berfikir aku sudah menemukan “aku”. Justru alasan utamaku “menghidupkan” jurnal ini agar bertemu dengannya. Bertemu dengan “aku” yang utuh, yang mengenal dirinya siapa, yang tahu maunya apa, dan yakin tujuannya ingin kemana.

Aku tahu ini bukan tugas yang mudah. Mendidik seorang “aku” menjadi “nahkoda” di laut lepas bukan perkara sepele. Ia belum mahir mengendalikan arah angin, belum mengerti caranya menghalau ombak, pun memperbaiki kapal kalau-kalau suatu saat menabrak batu karang. Terlebih si “aku” sedang menginjak angka dua puluh dua. 

Orang bilang, ketika seorang “aku” sudah menginjak angka dua puluh dua, maka “kacamata”nya akan seketika naik pangkat. Apa yang dilihatnya bukan hanya tentang warna pelangi yang indah. Mungkin ia akan melihat berbagai macam warna yang belum pernah ditemui sebelumnya. Bisa jadi ia akan bertemu dengan warna-warna yang terlihat semu, suram atau pudar. Bisa juga ia akan bertemu dengan aneka warna yang merona, merekah dan juga berani. Maka, tertanggal prolog jurnal ini diposting, semoga si “aku” tidak akan lalai untuk membingkai setiap perjalanan dalam“ekspedisi”nya.  Selamat malam, sampai jumpa di jurnal berikutnya!


Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...