Saturday, June 2, 2018

Journal of Twenty Two Life: Di Luar Kendali



Aku sedang jengah. Jengah pada semesta yang akhir-akhir ini tidak berpihak pada usaha. Ketika semua daya, doa dan upaya telah ditempuh, seharusnya semua berjalan sesuai rencana. Begitu, kan seharusnya?

Man jadda wajada, berkali-kali kuucap mantra itu. Dan aku memilih untuk percaya padanya. Seutuhnya. Namun ia seakan membelot. Mempermainkan keyakinanku, lantas menggodanya agar runtuh tepat dihadapanku.

Sungguh, ia memang benar-benar tahu bagaimana cara menguji. Ia tahu kesabaran milik siapa yang layak dieksekusi.

Namun sekali lagi, aku (masih) memilih untuk percaya. Sekalipun sedang jengah. Sekalipun semesta belum juga berpindah arah.

Yogyakarta,
Ditulis ditengah-tengah penantian yang panjang.

Journal of Twenty Two Life: Siklus Kehidupan: Tentang Sebuah Kematian



Apa yang kalian pikirkan pertama kali jika mendengar kata “kematian”? Sebuah tangisan? Ketakutan? Kesedihan? Atau kehilangan?
Maka aku memilih untuk menyebutnya sebuah kegelapan.

Jika kalian cukup mengulik jauh blog ini, maka kalian akan menemukan banyak luka yang menguar. Luka tentang kematian dan kehilangan, luka yang bertahun-tahun selalu kucoba untuk disembuhkan. Maka setelah sekian lama aku tidak membicarakannya, malam ini, entah mengapa aku ingin kembali bergumul dengannya.

Aku tahu, kematian memang sesuatu yang pasti. Pun dengan yang namanya kehilangan. Dengan gamblang, Sapardi Djoko Damono bahkan mengungkapkan bahwa ketakutan terhadap kematian dan kelahiran merupakan hal yang sangat wajar, yang sama sekali tidak bisa dipahami namun pasti akan terjadi. Aku bukan seorang filsuf yang menurut Sapardi sudah cukup akrab dengan pembahasan tentang tiga serangkai yang pelik nan muskyil yaitu: lahir, hidup, mati.
Pun, aku bukan sastrawan layaknya Amir Hamzah yang mampu menghidupkan keambiguan antara ketakutan dan kesiapan terhadap sebuah kematian. Syairku belum mampu menandingi sajak "Karikatur Orang Kedinginan". Aku hanyalah aku, seorang gadis yang mencoba berobat dengan rentetan kata, yang rajin ia susun agar lupa rasanya sakit karena luka.

Aku sempat mengira bahwa kematian yang lalu-lalu sudah cukup mampu menegarkanku. Tapi nyatanya tidak. Kuakui aku masih takut bertatap muka dengannya.
Akhir-akhir ini, entah mengapa bayangan salah seorang terpenting di hidupku terus berkelebat. Frekuensinya semakin hari semakin hebat. Membuatku tidak tenang dan semakin diliputi oleh rasa ketakutan. Kemudian aku tersadar, bahwa sekeras apapun kusamarkan, ‘ia’ memang tidak berkendak untuk pergi seutuhnya. Lantas ketika bayang-bayang kematian kembali muncul, aku jadi kelimpungan dan semakin tidak karuan.

Teruntuk, hati yang belum pulih seutuhnya. Kau masih mau berjuang untuk menyembuhkannya, bukan



Yogyakarta, 2 Juni 2018
Ditulis ketika semakin takut untuk kehilangan Eyang Putri.

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...