Wednesday, April 18, 2012

Wish in The Twilight


“Wish in The Twilight“
Oleh: Aini Syarifah 

Kalau saja aku masih mampu bersuara
Tak akan kubuang kesempatan itu sia-sia
Akan kuteriak memanggil sang senja  
Agar sang mega mau,
Menenggelamkan janji itu kedalam rengkuhannya..

            Prolog
Orang bilang, dicintai lebih baik dari pada mencintai. Dan mungkin, itu benar. Mungkin juga hal ini yang membuat mereka beranggapan bahwa dicintai sama artinya dengan diberi. Dan mencintai sama artinya dengan memberi. Banyak orang bilang, dicintai tanpa mencintai sama dengan kosong. Sedangan mencintai tanpa dicintai sama dengan sakit. Secara tidak sadar, mereka merumuskan dalam kamus keinginan, bahwa pembalasan cinta adalah wajib hukumnya.
*****
            “Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Seorang wanita cantik mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Laki-laki dengan balutan kaos putih berkerah menampik pandangan.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“ Ia mematri dua bola mata wanita itu dalam korneanya. Membiaskan sebuah senyum simpul didalamnya. Sang wanita merekah,
            “Janji?”
*****
6 bulan sebelumnya..
            “Oh ya?” Damian Anggara tertegun. Sejurus kemudian ia bisa merasakan letupan-letupan bom molotof menghujam tepat pada ulu hatinya, perih.
            Wanita dengan balutan dress putih tulang itu tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya.
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Damian Anggara tersenyum lebar seraya menarik wanita mungil itu kedalam dekapannya, menepiskan sebatas jarak yang tadinya tercipta diantara bangku coklat panjang yang terletak ditengah taman kota. Wanita itu mengeryit.
            “Dear?“
 Damian Anggara tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“ Laki-laki itu semakin mempererat dekapannya.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“ Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Laki-laki itu melepas dekapannya. Ia tersenyum simpul kemudian beralih melirik jam tangan yang terkalung dipergelangan tangan kirinya.
            “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
            Damian Anggara menekan gas mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Bukan karena meeting. Bukan, sesungguhnya meeting itu tidak ada. Meeting itu hanya bualannya belaka. Sekali lagi ia naikkan putaran speedometer mobilnya satu level. Mencoba menggiring Everest putihnya menuju area yang jauh dari keramaian. Jarum speedometernya baru turun dan terhenti saat pandangannya  menangkap erat hamparan perkebunan teh. Dibukanya pintu mobilnya perlahan.
            Sebuah saung berdiri tak jauh dari Everest putihnya. Perlahan, ia mencoba mendekat. Membelainya. Merasakan dengan seksama setiap detail kotak masa silamnya. Warnanya masih coklat usang. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Pilarnya masih kayu keropos--- Bedanya, sekarang semakin keropos dan bahkan nyaris rapuh. Atap saungnya masih kumpulan jerami. Tak ada celah yang berbeda. Sedangkan alasnya masih tatanan bambu. Lengkap dengan ukiran janji yang tertinggal diujung salah satu sisinya. Laki-laki itu menyentuhnya.
            Hatinya kembali bergetar. Ukiran masa kecilnya telah meramu sebuah perih didalamnya. Matanya terpaku tajam, giginya gemeretak, jari-jemarinya mengepal. Ia mengerang keras,
            “Ah, sialan!“ Setitik air mata menyembul dari permukaan korneanya. Memunculkan luapan kesakitan, kepedihan, penyesalan, dan segala macam rasa yang mampu mencerminkan kehancurannya.
            Sepuluh tahun yang lalu. Bersama sosok itu, ia menciptakan janji yang terpatri disalah satu alas saung. Janji yang menguncinya, menekannya, dan bahkan kini menghancurkannya. Setitik air mata itu kembali terjatuh. Membasahi ukiran janjinya yang bahkan telah mustahil untuk luntur. Kepalanya tertunduk. Seiring dengan nafas keputusasannya yang berhembus. Percuma. Janji itu sudah terlanjur mengakar. Tidak bisa luntur, diubah, atau bahkan menghilang. Kalau saja janji itu tidak ada, mungkin semua akan berbeda. Hal ini tidak akan terjadi. Ia tertawa hambar. Membodohkan langkah masa silamnya. Apakah ini memang salahnya? Atau memang ini takdir untuknya? Kalau saja janji itu mampu ia terpa, mungkinkah takdir akan berkata lain? Ia tersenyum masam, menatap nanar ukiran yang mampu menghancurkannya.
            ‘Tara_Dam, sahabat selamanya‘
*****
            Tara Wijaya menunjukkan kelima jarinya pada salah satu EO yang berdiri didepannya. Menandakan kode ‘tunggu sebentar‘ tanpa suara. Sejurus kemudian ia segera membuka flip ponselnya, menjauh dari kerumunan yang nyaris membuat kepalanya berdenyut karena kewalahan.
            “Ya, Hallo?“ Ia segera memberi sapaan saat berhasil menyingkir dari keramaian,
            .....
            “Oh kau, Dam.“
            .....
 “Kurasa,“ ia mencoba melirik kedalam ruang resepsinya. “Hanya tinggal 10% lagi, ada apa?“
....
“Kurasa tak apa jika hanya 2 jam“
....
Okay, tunggu sebentar, ya?“
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?”
Damian Anggara mengangguk. Ia enggan membalas tatapan wanita itu.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“
Pertanyaan itu membuat Damian terdiam. Ia berpaling membalas tatapan wanita yang duduk didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“
 Ia membenarkan. Menatap nanar jalanan ibu kota lewat kaca restorant.
“Oh, begitu. Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Damian terdiam sejenak.
“Baru saja, belum lama.“
Wanita itu mengangguk.
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“
“Suatu saat nanti“
*****
            “Apakah aku membuatmu menunggu lama?“ Tara Wijaya bepaling kearah laki-laki yang duduk dikursi kemudi setelah selesai memasang sabuk pengaman. Laki-laki itu menggeleng pelan dengan seulas senyum.
            “Kita akan kemana, Dam?“
            “Kau akan tahu nanti“
            Tara Wijaya terdiam. Ia membiarkan laki-laki itu membawanya menjauh. Menjauh dari hiruk pikuk ibu kota, kepulan asap dan kemacetan. Perlahan, ia tahu. Laki-laki itu membawanya kedalam dunia masa kecilnya.
            “Tulisan kita masih ada atau tidak ya, Dam?” Wanita dengan balutan jaket merah muda itu merekah. Ia segera berlari menuju saung yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
            “Aku sudah lama sekali tidak kesini. Ternyata tidak ada yang berbeda ya, Dam?“ Lanjutnya. Ia duduk dan tersenyum.
            “Lihat Dam, masih ada“ Senyumnya semakin merekah.
            Tak jauh dari saung, Damian membisu. Wajahnya pucat. Tatapannya nanar. Bagaimana bisa wanita itu terlihat bahagia melihat ukiran itu masih terpatri dengan baik? Sementara ia? Mengutuk habis-habisan akan kehadiran ukiran itu. Akan keabadian ukiran itu. Ia tersenyum hambar. Menertawai kebodohannya.
            Sepuluh tahun yang lalu, janji itu adalah ukiran terindah dimatanya. Sepuluh tahun yang lalu, saung itu adalah tempat termanis diingatannya. Dan sepuluh tahun yang lalu, wanita itu adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.
            Ia kembali tersenyum hambar. Dulu, itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu. Siapa yang tahu pada tahun berikutnya janji itu menekannya? Siapa yang tahu lima tahun berikutnya saung itu menyakitinya? Dan siapa yang tahu empat tahun berikutnya wanita itu menghancurkannya?
            “Dam? Kau baik-baik saja, bukan?“
            Tara Wijaya tersentak. Ia bisa merasakan laki-laki itu mendekapnya. Erat, begitu erat. Nyaris membuat nafasnya tersengal menghilang.
            “Dam, apa yang kau laku---“
            “Ra, Regina itu sepupuku.“
 Tara Wijaya kembali tersentak. Ia mencoba berontak. Tapi tak mampu.
            “Kau pasti tidak mengerti, bukan?“
Wanita itu terdiam.
“Ra, “Damian Anggara terdiam sejenak. Ia semakin mempererat dekapannya. Membisikan suara pada wanita dalam dekapannya,
“aku mencintaimu, “ ucapannya terhenti sejenak.
“melebihi janji kita”
*****
“aku mencintaimu, melebihi janji kita”
Tara Wijaya membisu. Wajahnya pucat pasi. Kalimat terakhir menyengatnya. Melumpuhkan dinding-dingin ketegarannya. Tubuhnya melemas tersungkur dalam dekapan laki-laki itu.
“Maaf Ra, maafkan aku“
Tara Wijaya masih terdiam. Ia masih enggan berkomentar. Jemarinya dingin. Bibirnya kaku. Lidahnya kelu. Setetes air mata jatuh membasahi kemeja laki-laki yang mendekapnya. Mewakili segala kesakitannya yang terkuak tanpa batas.
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?” Tara Wijaya membulatkan mata kecilnya. Ia meletakkan kembali selembar foto yang sudah nyaris 1 menit dipandangnya. Samar-samar diliatnya laki-laki itu mengangguk. Ia tersenyum kecil. Wanita itu cantik. Pantas saja jika sahabatnya jatuh hati. Mereka berdua cocok.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“ Tara Wijaya menyesap perlahan coffe milknya, kemudian kembali menatap laki-laki yang duduk tepat didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“ Laki-laki itu membenarkan. Tara Wijaya tersenyum kecil.
 “Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Tidak ditemuinya sebuah jawaban. Laki-laki didepannya terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit yang sebentar lagi nyaris terkuak.
“Baru saja, belum lama.“
Tara Wijaya kembali mengangguk ditengah senyumnya. Bodoh. Apa yang ada difikirannya? Laki-laki itu sahabatnya. Tidak lebih. Untuk apa dia merasa kecewa? Dan hey, bukankah ia sendiri sudah memiliki seorang kekasih yang bahkan akan menjadi suaminya? Ia tertawa hambar. Suami? Apakah itu nyata?
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“ Ia tak henti-hentinya mengumpati pertanyaan bodohnya. Berkenalan dengan kekasih laki-laki itu? Benar saja? Apakah ia mampu?
“Suatu saat nanti“
*****
Satu bulan setelahnya..
            “Oh ya?” Tara Wijaya tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya. Sial. Kenapa ia harus mengatakan ini?Ia tertawa hambar. Apa salahnya? Toh laki-laki itu tidak akan keberatan. Laki-laki itu pasti senang mendengarnya. Hey, kenapa ia justru sedih?
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Tara Wijaya mengeryit. Seketika ia bisa merasakan dekapan itu. Oh, tidak ini gawat. Bagaimana jika laki-laki itu bisa merasakan degup jantungnya? Hey, tunggu. Dear?
            “Dear?“
 Laki-laki itu tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“
            Tara Wijaya membisu. Ia ingin berucap, tapi tak mampu. Tidak, sesungguhnya tidak aneh. Ia senang mendengarnya. Ucapkan saja sekali lagi. Kata itu begitu indah.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“
Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
‘Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak akan berontak. Berapa kalipun kau memanggilku dengan sebutan itu aku tidak akan melarangnya. Katakan lagi..kumohon..‘
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Wanita itu terdiam. Membiarkan dekapan itu terlepas. Ia tersenyum hambar. Gabriel? “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
Enam bulan setelahnya..
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Tara Wijaya mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Samar-samar ia bisa melihat laki-laki itu mengalihkan pandangan.
Tak ditemui jawaban itu. Ia kembali berpaling. Mencoba menatap laki-laki itu lewat cermin yang terpasang didepannya. Wajahnya kusut.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“
Tara Wijaya merekah, dan kemudian berpaling.
            “Janji?”
            Laki-laki itu mengangguk. Ia kembali berpaling ke arah cermin. Tersenyum masam, menggigit bibir.
            ‘Kenapa kau tidak memberikan alasan saja sih, Dam?‘
*****
            Semakin lama ia tak bisa menahan tetes itu. Gerimis kini semakin deras. Berganti dengan hujan lebat dipelupuk matanya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Menangisi janji itu. Menangisi rasanya. Menangisi rasa laki-laki itu. Menangisi keadaan. Menangisi takdir.
            Takdir? Apakah ini memang takdirnya? Apakah memang laki-laki ini bukan untuknya? Apakah ia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia? Disaat orang lain menunggu pembalasan, haruskah ia mengabaikan sebuah pembalasan? Jika pembalasan itu memaksanya untuk menerpa janji, apakah takdir masih mampu berkata lain? Haruskah takdir itu dikejar? Atau hanya bisa menunggu untuk datang?
            Tara Wijaya terus menguak pertanyaan. Ia benar-benar nyaris gila. Kenyataan ini membekukannya.
*****
            Damian Anggara bersimpuh. Semakin mendekap erat wanita yang jatuh dalam dekapnnya. Ia bisa merasakan kesakitan itu, kerapuhan itu. Perlahan ia bisa merasakan kemejanya basah. Diiringi dengan isakan yang semakin menjadi. Semakin didekapnya wanita itu. Hancur, ia semakin hancur. Untuk pertama kalinya ia melihat wanita yang dicintainya itu begitu rapuh. Nyaris seperti gelas pecah. Ia begitu egois. Membiarkan wanita itu mengetahui rasa yang tak seharusnya menyeruak. Ia telah merobohkan saung itu. Telah menghancurkan perjanjian mereka. Telah merusak segalanya.
            “Maafkan aku Ra..”
*****
            Epilog
Senja mulai membiaskan warnanya. Menggeser langit dengan sensasinya. Dua puluh tahun yang lalu janji itu tercipta disini. Dan sepuluh tahun sesudahnya, janji itu terkoyak ditempat yang sama. Kini pada detik yang baru, kedua sahabat itu kembali bertemu. Masih dengan kedua rasa yang sama.
            “Dam, maukah kau menungguku?” Damian Anggara mengeryit.
            “Untuk?“
            “Membalas rasamu dikehidupan selanjutnya“
Ditengah senja, tatapan mereka bertemu. Tanpa genggaman, tanpa dekapan, dan bahkan tanpa kecupan.  Hanya saling membiaskan sebuah senyum kebahagian.
Cinta bukanlah meributkan siapa yang memberi atau siapa yang diberi. Cinta juga bukan mengharap atau menunggu balasan. Tapi cinta adalah rasa yang tumbuh secara iklas, diucapkan dengan segenap rasa, dan akan selalu bertahan meskipun tak mampu tuk bersama.




Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...