Saturday, May 26, 2012

"Senja dalam Epilog"


 "Senja dalam Epilog"
Oleh: Aini Syarifah

Prolog
Betapa jauhnya lilin kecil itu memancarkan berkas cahayanya. Jadi pancarkanlah perbuatan baik didunia yang melelahkan ini.
-William Shakespeare
Orang bilang, kehidupan erat kaitannya dengan takdir. Seperti fajar bersama senja, kutub utara bersama kutub selatan, atau prolog bersama epilog. Mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti sebuah paket tunggal yang tidak bisa diambil tanpa sebuah angka genap. Jika Tuhan memberikan kita sebuah kehidupan, mengapa kita ditakdirkan untuk berakhir pada sebuah kematian?
*****
-Deva
Hari ini terhitung hari ke 92 bersamanya, bersama sesesok gadis yang biasa kupanggil Alina. Seperti biasa, ia selalu datang ke kamarku saat jarum jam berhenti tepat pada angka tujuh lebih lima belas menit. Angka dimana jadwal pemeriksaan paginya telah berakhir. Maka, kala Dokter mencoba memutar kenop kamar yang berada tepat didepan kamarku, aku akan segera tersenyum. Menanti  sesosok gadis bersama selang infuse yang selalu ia giring kemana-mana.
Kali ini, ia tidak hanya membawa selang infuse. Sebuah buku bersampul putih gading berada tepat ditangan kirinya. Ia tersenyum riang, mengambil posisi tepat diatas ranjanganku, membantuku duduk senyaman mungkin, lalu membuka buku dan mulai membacanya.
“Ketakutan tumbuh dari hal-hal yang kita pikirkan, lalu tinggal dalam pikiran kita---”
Kening gadis itu mengeryit, ia berhenti membaca sederetan kalimat Barbara Garrison yang bahkan belum selesai ---menurutku, karena ia membaca dengan menggantung--- dan beralih menatapku. Mengirimkan signal ‘apa maksudnya’ lewat kedua bola mata sayunya. Aku terkekeh, mencubit pipinya yang kini terlihat semakin tirus, gemas.
“Apakah kau pernah merasa ketakutan?”
Intonasinya melemah, nyaris tak terdengar. Ia menutup perlahan buku itu dan beralih menatapku. Aku tersenyum simpul membalasnya, lalu ikut larut dalam diam. Aku tahu, ia sedang ketakutan. Tatapan itu, aku mengenalnya. Tatapan yang sama seperti tiga bulan yang lalu, masa dimana sebuah kesimpulan tentang Metastase Poorly Differenteated Adeno Carcinoma pertama kali mem-vonisnya.
“Tidak.”
Tak ada reaksi, bibir mungilnya terkunci.
“Termasuk mati?”
Aku terkekeh, lalu mengangguk.
 “Kenapa?”
“Karena aku tidak pernah memikirkannya, tidak pernah mengizinkan pemikiran seperti itu untuk tinggal didalam benakku.”
Pipinya mengembung, ia mendengus kesal, “Aku serius.”
“Aku juga”
“Kau mengutip kalimat Barbara Garrison, tak ada bedanya. Aku ingin penjelasan yang lebih.” Gerutunya bertubi-tubi, aku kembali terkekeh.
 “Kau pernah bermain monopoli?”
“Aku bertanya tentang kematian bukan permainan.” Ia semakin kesal, tidak sabar.
“Jawab saja.”
Ia terdiam sesaat, mencoba menerawang puing-puing memorinya, “Pernah,” ia beralih lagi menatapku, “Memangnya kenapa?”
 “Kau tahu alur permainannya?”
Ia mengangguk.
“Tau aturan yang harus dilakukan saat terhenti digaris finish?”
Ia kembali mengeryit. Ingin sekali berontak, tapi urung. Mencoba mengikuti alur penjelasanku, “Permainannya selesai.”
“Nah, kau tau, bukan?”
Ia mengeryit, “Lantas?”
“Bagaimana caranya untuk tiba pada garis finish?” Ia semakin mengeryit, geram. Aku tersenyum, “Jawab saja”
“Mengocok dadu, lalu saat dadu tersebut memunculkan sebuah titik yang menyatakan jumlah angka, kita melaju mengikuti perintahnya. Terhenti tepat disaat hitungan angka dadu habis. Lalu diam menunggu giliran bermain, mengocok lagi, begitu seterusnya hingga terhenti pada garis finish.”
 “Apakah untuk sampai pada garis finish hanya membutuhkan sebuah jumlah angka dadu yang keluar dan tepat terhenti pada garis finish? Bagaimana jika garis finish itu terlewat? Bukankah tidak semua jumlah angka yang muncul bisa tepat terhenti pada garis finish?”
“Tidak, bisa saja kau mendapat kartu Kesempatan yang berisi perintah untuk maju sampai garis finish. Atau mungkin, kau mendapat kartu Dana Umum yang berisi perintah mundur beberapa petak yang bertepatan pada garis finish. Siapa yang tau?”
“Lantas, apakah setiap pemain tiba pada garis finish secara bersamaan?”
Ia kembali mengeryit, tapi urung berontak, “Entahlah. Tergantung dadunya, siapa yang tau jumlah angka yang muncul pada saat permainan?”
Okay, Binggo! Pemahanamu baik sekali, Alina.”
Aku mengusap kepalanya sedangkan ia mendengus kesal, geram.
“Berhentilah bertele-tele. Aku bukan filsafat, Deva. Bisakah kau mengartikannya dalam makna denotasi?”
Aku terkekeh, gemas. Kucubit pipi tirusnya, “Pernahkah kau berfikir tentang kehidupan?”
Okay, stop. Aku pergi.” Ia mencoba beranjak, aku tersenyum simpul.
Jika kehidupan adalah sebuah monopoli, maka tuhan adalah sang dadu, sedangkan angka yang muncul adalah takdir. Ketika kita melemparnya, kita menemukan sebuah clue. Melangkah atas alurnya. Dan boom! Dunia fantasi sedang dimulai. Berawal dari sebuah garis start, yang akan terhenti lesu pada kolom pajak, tersenyum sumringah pada sesi bonus gaji, mendengus kesal pada pusaran denda, lalu tertawa girang diatas arena bebas parkir dan kemudian kembali menjerit pada sel tahanan. Begitu seterusnya hingga berakhir pada garis finish. Jika start adalah prolog kehidupan, maka garis finish adalah babak kematian. Babak dimana takdir telah tercipta sebagai kepastian dari sebuah epilog. Jika penyakit adalah salah satu agenda dalam rangkaian daftar takdir, belum dapat dipastikan list selanjutnya adalah kematian. Seperti yang sudah kau katakan tadi, siapa yang tahu angka berapa yang muncul dibalik sebuah kuasa dadu? Semua mahluk Tuhan pada akhirnya akan menemui sebuah epilog, Alina. Tanpa kecuali. Hanya saja, setiap mahluk memiliki masa tersendiri menuju garis finishnya. Semua hanya butuh waktu. Apapun jembatan menuju epilog, itulah angka yang telah ditentukan oleh sang dadu. Sama seperti yang kau katakana tadi, bukan? Bahwa bisa saja kau mendapat kartu Kesempatan yang berisi perintah untuk maju sampai garis finish. Atau mungkin, kau mendapat kartu Dana Umum yang berisi perintah mundur beberapa petak yang bertepatan pada garis finish. Tidak ada yang perlu kau takutkan, Alina. Semua ada masanya.“
Seketika ia berbalik, duduk diatas ranjang, mendekapku. Dapat kurasakan bahunya tergoncang, semakin lama semakin hebat. Diiringi dengan isakannya yang kian lama kian kencang. Aku mencoba membalas dekapnya, membelai rambutnya yang semakin lama semakin menipis. Membebaskannya sesaat untuk berbaur dengan rasa takut, menyisihkan sedikit ruang untuk melepas segala bebannya. Perlahan, bisa kurasakan guncangannya mereda, kurengkuh pelan wajah sendunya dengan kedua tanganku. Mengusap bulir-bulir air matanya yang masih tersisa. Membiaskan sebuah senyuman dimatanya, dan kembali mendekapnya,
“Jangan takut lagi, semuanya akan baik-baik saja“
*****
-Alina
Hari ini tepat hari ke 100 aku mengidap Colorectal Cancer. Penyakit yang mampu membuatku mual setengah mati karena kemoterapi, sakit tiada tara karena berbagai macam tusukan suntikan, perih tak terhingga karena kanker yang terus menjalar. Sampai detik ini, tidak ada yang berbeda, semua sama. Rasa yang berkutat ini, kian lama kian terasa hambar karena siklusnya begitu semu. Semua rutinitas yang kulakukan disini begitu memuakkan, bosan. Aku selalu ingin lari, kemanapun. Asalkan jangan disini. Tapi kalau difikir-fikir, benar juga kata Deva, percuma. Bahkan, lebih cenderung ke rugi. Terpaksa aku mendengus kesal, mengurungkan niat.
Deva. Aku mengenalnya sekitar tiga bulan yang lalu, karena penyakit yang sama, dokter yang sama, dan rumah sakit yang sama. Bedanya, dia laki-laki, satu tahun lebih tua dariku, dan tiga stadium lebih tinggi diatasku. Aku beralih menatap jam dinding yang tertera tepat diseberang ranjangku, jam tujuh tepat. Tapi tidak juga ada tanda-tanda kedatangan Dokter Tjahyo ---Dokter yang menanganiku dan Deva---, maka kuputuskan untuk beranjak saja. Aku tidak suka menunggu.
Langkahku terhenti tepat diambang pintu. Tiba-tiba saja aku seperti mati rasa, kaku. Bola mataku enggan mengempis, sementara bibirku enggan terkatub. Aku seperti kehabisan oksigen, ingin bernafas tapi tak mampu, ingin menghela tapi tak mau. Aku nyeri, kelu, bingung dan ah entahlah, bahkan aku tidak mampu lagi menjelaskan secara detail reaksi seperti apa yang sedang bergumul didalam otakku. Aroma cologne maskulin itu berhembus, diiringi dengan suara roda ranjang yang berlalu. Kutemui sosok itu tertutup selimut, hilang digantikan sang fajar yang mulai menyingsing. Aku bersimpuh lemas menyadarinya.
            Tepat ditengah senja, sosok laki-laki itu terlelap ditengah tumpukan bunga Daisy. Semalam, keadaannya memburuk. Kanker itu sudah benar-benar mematikan fungsi organ pencernaannya. Menyatukan seluruh jenis usunya, membuatnya mengering, dan meninggalkan seberkas warna biru disekujur sisinya. Aku tidak menyangka, akan secepat ini epilognya tiba. Ia terlihat baik-baik saja saat semalam aku bertandang ke kamarnya. Dia masih terlihat sama saja, ---terlepas dari tubuhnya yang semakin kurus, matanya yang semakin sayu, dan parasnya yang semakin pasi---. Masih terlukis jelas didalam memoriku, senyum terakhirnya yang terlihat tak ada beda ---senyum lebar, tulus, dan menenangkan---. Bersama senja di pertengahan November, pintu epilognya terkatub. Kini, satu pemain telah tiba digaris finish. Menyambut sebuah epilog untuk mengakhiri permainnya.
*****
30 hari yang lalu…
“Apakah kau percaya pada keajaiban?”
Laki-laki itu mengangguk, “Pernah dengar lagu ‘When You Believe’ Whitney Houston feat Mariah Carey?”
Sang gadis menggeleng, “Aku tidak begitu suka mendengarkan musik.” Kilahnya.
Laki-laki itu mengangguk kecil, “Kenapa?”
“Tidak tau, hanya tidak suka.”
“Sayang sekali, lagunya bagus”

*****
Dua hari yang lalu..
“Pernah berfikir mengapa Tuhan menciptakan sebuah kehidupan jika pada akhirnya akan berakhir pada kematian?”
Laki-laki itu mencoba menutup buku tebalnya, kemudian menyodorkannya pada gadis itu.
“Jika kutitipkan buku ini padamu, apakah kau akan marah jika aku mengambilnya besok?”
Gadis berbibir mungil itu mengeryit, “Kenapa harus marah?”
Laki-laki itu terkekeh, “Kau masih saja menggemaskan,” ditariknya hidung mancung gadis itu, sang gadis mengeryit.
“Sudahlah, jangan bertele-tele, Deva.”
Laki-laki itu kembali tersenyum, ia kembali menatap buku tebal yang berada diatas pangkuan gadis itu.
Hidup ini, hidupmu. Tapi bukan milikmu, Alina. Sama seperti buku ini. Untuk saat ini buku ini bukumu, tapi bukan milikmu. Jika aku ingin mengambilnya besok, kau bisa apa?” Laki-laki itu terdiam sejenak. Lalu beralih menatap gadis yang duduk diam diatas ranjangnya.
“ Sama seperti yang kau ucapkan tadi, ‘kenapa harus marah?’”
*****
Epilog
Senja ke 230 mulai turun, melukis warna dengan jingganya. Bersamaan dengan langkahnya, gerimis ikut bernyanyi. Melantunkan melodi-melodi alam dengan riangnya. Disudut kamar Anggrek bernomor 203, sesosok gadis berdiri tepat didepan jendela, membuat tubuh mungilnya bertempa dengan senja. Senja saat ini, entah sudah terhitung senja keberapa tanpa kehadiran sosok laki-laki itu di dalam arena monopoli. Perlahan, ia mencoba membelai sendiri helai rambutnya yang nyaris menghilang seluruhnya, mendelik dengan seksama raga mungilnya yang kini sudah semakin tak berisi, dan berakhir dengan menatap siluetnya yang remang-remang terbias didasar jendela. Ia letakkan jari-jemarinya disana, mencoba menyentuh siluet semu itu yang bahkan nyais tak terlihat. Ia beralih menatap ranjang, kosong. Hanya tertinggal sebuah buku tebal diatas meja. Ia beralih lagi menatap sebuah MP4 yang tergeletak tak jauh dari buku. Entah sudah berapa lama ia membiarkan benda itu berdiam di laci kamarnya, dan ditengah senja kali ini, ia  mencoba merengkuhnya dan membawanya kemari. Perlahan, dipasangnya headphone pada kedua telinganya. Dengan sedikit keraguan, ditekannya perlahan sebuah tombol ‘play’ yang otomatis memutar playlist sang empunya. Dengan sendirinya, matanya terpejam bersama simfoni yang mulai mengalun.
Many night we prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hope for song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there’s much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could
In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer bird
Too swiftly flown away
Yet now I’m standing here
My hearts so full, I can’t explain
Seeking faith and speaking words
I never thought I’d say
They don’t always happen when you ask
And it’s easy to give in to your fears
But when you’re blinded by your pain
Can’t see the way, get through the rain
A small but still, resilient voice
Says hope is very near
There can be miracles,
When you believe
Though hope is frail
It’s hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
You will when you believe
---‘When You Believe’ Whitney Houston feat Mariah Carey---




Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...