Friday, April 18, 2014

"1080 Hari Tentangmu, SMAN 3 Madiun"





Madiun, 17 April 2014
Kalau setiap cerita hidup kita selalu indah, hati ini tak pernah kenal dekat dengan sabar dan ikhlas
Kalau setiap yang kita inginkan maunya dikabulkan, kita tak pernah tau indahnya mendekati Allah bersama jutaan do’a dan harapan
Kalau setiap harapan kita selalu berjalan sesuai rencana, kita tak pernah belajar bahwa kecewa itu menguatkan....



  H
ari ini adalah hari pertama saya terlepas dari rutinitas SMA yang melelahkan. Rutinitas yang sebentar lagi saya rindukan, saya kenang, sepanjang masa. Hiruk-pikuk dunia putih abu-abu benar-benar membuat saya mengabaikan detik yang terus berputar tanpa jeda. Membuat seolah-olah 1080-hari terasa begitu cepat. Banyak sekali cerita yang terselip diantara fajar dan senja. Dan malam ini, saya ingin mengurainya, sebentar saja....
“If it wasn’t written for you, it never belonged to you, so don’t be upset when it doesn’t come to you” -@Alhamdulillah
            Hari itu, pagi dipertengahan Juli 2011. Hari yang bagi saya jarum jam berputar begitu lama, lingkungan yang terlihat begitu menakutkan, dan suasana yang terasa begitu dingin. Akhirnya, saya terlempar disuatu sekolah yang bahkan bentuk dan wujudnya baru saya ketahui dihari saya dinyatakan diterima disana, SMAN 3 Madiun. Untuk kedua kalinya, saya diterima disekolah yang bukan tujuan saya. Sedih, kecewa, marah. Tapi bisa apa?
“Even I know what decision that I want, God already know what decision that I need.”
            Sekolah baru, teman baru, lingkungan baru. Tiga hal yang membuat saya nyaris menyerah. Terlebih, dilingkungan yang benar-benar baru dan bukan tujuan saya. Tinggal di ‘Kota Orang’ memang memiliki sensasi tersendiri. Lingkungannya, budayanya, orang-orangnya. Sungguh, saya benar-benar merasakan yang namanya ‘culture-shock’.
Ditahun pertama saya belajar dengan yang namanya ‘memahami dan lapang dada’. Saya lahir, tinggal dan bersekolah hingga SMP di Ponorogo. Bersekolah di kota dengan budaya cara bicara yang ramah, halus, perasa tapi sensitif. Berbanding terbalik dengan budaya lingkungan sekolah kota Madiun yang bagi saya cuek, tegas, berterus terang, apa adanya, tapi pemaaf. Saya yang  belum terbiasa menerima kritikan pedas secara langsung benar-benar merasa tergugu. Cara bicara mereka yang begitu berterus terang sering membuat saya shock diawal-awal masa sekolah. Dimata saya, cara mereka mengingatkan, memberi kritik, menjatuhkan mental dan menyakiti hati tidak ada bedanya. Seperti satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tapi dimata mereka, itu hal biasa, hal yang wajar, bukan menjatuhkan, menyakiti, tapi berterus terang, berkata jujur, apa adanya. Tidak kurang, tidak juga lebih. Belum selesai sampai disitu, saya juga shock dengan sikap mereka yang biasa-biasa saja ketika menerima kritikan langsung, yang menurut saya kritikan itu lebih tepat disebut sebagai sebuah sindiran yang menyakiti hati. Tapi mereka biasa-biasa saja. Selalu menganggap tidak pernah terjadi apa-apa jika sebuah ‘forum’ perdebatan sudah ditutup. Perlahan saya mulai memahami, belajar bersabar, lapang dada. Mencoba beradaptasi.

Tentang Kegiatan Belajar Mengajar. Sungguh, saya benar-benar kalang kabut. Sistematika pembelajaran SMAN 3 Madiun yang kala itu masih RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) memaksa saya untuk memahami materi dalam Bahasa Inggris. Mulai dari materi, soal, hingga presentasi yang menggunakan Bahasa Inggris sukses membuat saya pusing bukan kepalang. Belum lagi dengan mata pelajaran IPA terutama Fisika, Matematika dan Kimia yang benar-benar meracuni otak saya dan membuat saya nyaris menyerah dan pindah sekolah. Dari awal memang saya ingin masuk di Jurusan IPS. Bagi saya, ilmu didalamnya begitu mengasyikkan. Tidak membuat saya tegang atau tertekan. Sungguh selama pelajaran Matematika, Kimia dan Fisika saya selalu tegang, was-was. Takut kalau-kalau saya disuruh mengerjakan soal didepan kelas, yang sudah pasti soal apapun itu saya tidak faham harus diapakan. Kala itu, satu tahun terasa lama. Lingkungan baru, teman baru, budaya baru, sistematika pembelajaran yang baru, sungguh benar-benar membuat saya ingin segera lari. Hingga akhirnya, saat pembagian rapor semester akhir, saya dinyatakan naik kelas dengan peringkat ke 6 dan masuk jurusan IPS. Subhanallah, sungguh saat itu saya benar-benar tidak menyangka bisa meraih rengking 6. Dengan segala kepasrahan saya saat pada Fisika, Matematika, dan Kimia ternyata Allah masih memberi kesempatan saya untuk membuat rengking 6 itu tidak mustahil lewat mapel-mapel IPS yang memang benar-benar saya pelajari secara sungguh-sungguh. Dan akhirnya, lembaran baru kembali dibuka. Saya dinyatakan sebagai salah satu siswa kelas XI IPS 3.
Disini, pembelajaran saya belum berakhir. Di XI IPS 3 saya belajar apa arti kerja keras, santai tapi serius, bercanda tapi fokus. Teman-teman sekelas saya, sungguh. Saya banyak terkecoh. Saat KBM mereka lebih banyak bercanda dari pada memperhatikan guru. Lebih banyak santai daripada mengerjakan belajar. Tapi anehnya, saat dihadapkan dalam pertanyaan, presentasi, atau ulangan, mereka berbeda 180 derajat. Mereka bisa menjawab, bisa menjelaskan, bisa mendapat nilai yang tak jarang cukup membuat saya termenung. Perempuan atau lak-laki, mereka semua sama-sama pintar. Saya dihadapkan pada teman-teman yang unpredictable. Yang terlihat biasa saja ternyata luar biasa. Yang terasa tidak bisa ternyata multitalenta. Disini, saya belajar apa arti kesederhanaan. Apa arti ketulusan dalam belajar. Dari mereka saya belajar, bahwa sesuatu yang tidak terlihat, jauh lebih penting daripada sesuatu hal yang terlihat.
Tak cukup sampai disitu. Ditahun itu, saya mengikuti beberapa macam lomba. Yang entah saya tidak menghitung berapa kali saya gagal dan berapa kali saya berhasil. Sungguh, kesempatan berkompetisi dengan siswa-siswi dari berbagai kota dan provinsi di Indonesia membuat saya benar-benar belajar apa sebenarnya arti kata berusaha, tawakal, tawadu, rendah hati dan sportivitas. Begitu banyak cerita, rintangan, kegagalan, ketidakadilan, keberhasilan dan kerja keras yang saya dapatkan dari kompetisi-kompetisi yang bahkan tidak pernah saya hitung berapa banyak peluh saya yang terkuras untuknya. Peraturan sekolah saya yang selalu menekankan untuk lebih mementingkan pelajaran diatas segalanya memaksa saya untuk berusaha lebih keras lagi dan lagi. Dengan jadwal pulang jam 4 sore, saya hanya diizinkan dispensasi untuk latihan lomba tidak lebih dari 2 jam KBM. Sisanya, harus diluar jam pelajaran. Sungguh, hal-hal seperti itu benar-benar melelahkan. Tapi dibalik itu semua, perlahan saya menyadari. Bahwa mungkin, lewat kerja keras itulah Allah meridhoi saya untuk berhasil dibeberapa lomba yang saya ikuti. Dan mungkin, Allah memberikan saya kegagalan untuk mengingatkan saya bahwa usaha, kerendahan hati, tawakal, dan tawadu saya masih jauh dari kata sempurna. Lewat berbagai kompetisi di masa SMA tersebut saya belajar. Bahwa kerja keras tidak pernah berkhianat. Bagaimanapun itu, Tuhan tidak akan menukar rezeki umat-Nya. Karena Dia-lah yang Maha Tinggi, yang Maha Bijaksana.
Perlahan lembaran akhir sudah terisi penuh. Ditutup dengan penerimaan rapor semester akhir. Saya mulai beranjak kepenghujung masa SMA yang membuat perjalanan pembelajaran saya kian lengkap. Disini, dimasa penghujung ini. Berbagai macam pembelajaran memaksa saya untuk memahami apa arti berhubungan dengan manusia lebih jauh dan apa arti berhubungan dengan Sang Pencipta secara lebih dekat.

“The most useful asset of person is not a head full of knowledge, but a heart full of love. Ears open to listen and hands willing to help.”-unknown.





Dua tahun bersama teman-teman saya di IPS 3 menyadarkan saya bahwa pemahaman saya akan sifat mereka belum sepenuhnya berhasil. Saya dihadapkan pada hal yang sejujurnya sangat saya benci, “kurang menghargai”. Sungguh, saya tidak habis fikir, sebenarnya memang mereka yang terlalu kurang menghargai atau saya yang memang terlalu sensitif. Mereka cenderung mementingkan kepentingan pribadi. Sangat sulit diajak berdiskusi hal diluar pelajaran. Sungguh, hal ini begitu membingungkan bagi saya.
Kebetulan kelas saya memiliki group kelas di WhatsApp. Kami sering chatting apabila tidak bisa bertemu langsung. Tapi yang membuat saya jengkel, mereka sering sekali mengabaikan pertanyaan-pertanyaan penting yang harusnya dijawab. Mereka seakan tidak menghargai orang bicara dan kalaupun saya mengingatkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang seharusnya diabaikan, mereka sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Bahwa yang mereka lakukan hal yang biasa, bahwa saya yang terlalu berlebihan. Tapi sungguh, saya memang tidak suka dengan orang yang tidak bisa menghargai orang lain. Diawal, saya masih bisa beradaptasi dengan sikap kurang menghargai mereka pada hal-hal yang wajar. Namun jika hal itu sudah menyangkut kepentingan bersama, saya sangat tidak suka. Disini kesabaran saya benar-benar diuji. Saya sering sekali menahan emosi saya saat harus dihadapkan pada event-event sekolah yang mengharuskan berdiskusi bersama mereka. Sungguh, hal-hal seperti ini memang menguras kesabaran saya. Lewat hal ini saya belajar, bahwa dalam hidup, tidak bisa segala yang terjadi harus sesuai dengan apa yang kita harapkan. Bahwa orang lain tidak bisa dipaksa menjadi sama seperti kita, dan kita tidak bisa pula disamakan seperti mereka. ‘Saling memahami kekurangan’. Sungguh, inilah yang sedang saya pelajari saat ini.
“When you worry, pray about it. When you’ve prayed, don’t worry about it. It’s in Allah hands now.”-@Alhamdulillah
Siswa tingkat akhir. Julukan ini sangat erat kaitannya dengan perjuangan panjang dan tawakal total. Mimpi yang membuat saya lebih dekat dengan Dia. Perjuangan yang membuat saya memahami betapa indah mencintai-Nya. Sungguh, untuk sampai pada titik ini membutuhkan proses yang sangat panjang. Usaha saya melalui kelas X yang begitu berat, jatuh bangun saya mengikuti berbagai lomba di kelas XI, kalang kabut saya dalam mempelajari segala materi selama kelas XII. Tidak sampai disitu, Ujian Nasional di tahun 2014 yang saya harapkan berjalan dengan lancar, ternyata meleset jauh diluar dugaan. Banyak sekali hal yang terjadi diluar kendali saya, membuat saya menerka-nerka sebenarnya perjuangan seperti apalagi yang masih kurang saya lakukan. Begitu banyak waktu yang saya sisihkan untuk mencari ketenangan batin akibat ketakutan saya pada perjalanan panjang ini. Meskipun sampai detik ini saya belum mendapatkan jawaban atas segala usaha saya, perlahan saya menyadari, bahwa sesungguhnya obat kegelisahan, ketakutan, keraguan yang paling mujarab adalah dengan mencintai-Nya. Apapun hasil akhir perjalanan saya nanti, saya pasrahkan hanya kepada-Nya. Saya percaya, Dia maha melihat, maha mendengar, maha adil, maha bijaksana dan maha berkuasa. Apapun yang terjadi nanti, saya percaya itulah jalan yang terbaik untuk saya. Because I trust Him, I believe on Him.
“Let your heart tell Allah that you love Him and let your actions tell other that you love Allah.”-@Alhamdulillah.
Saya menyadari, bahwa saya bukanlah gadis muslimah yang sepenuhnya baik. Saya masih seorang gadis 18 tahun yang penuh kekurangan disana-sini. Tapi lewat perjalanan panjang ini, saya menemukan satu kesimpulan: Bahwa Ia memilihkan SMAN 3 Madiun untuk saya agar saya melalui perjalan yang luar biasa ini. Perjalanan ditengah kota baru, budaya baru, teman-teman baru, pengalaman baru, pribadi baru dan belajar mencintai-Nya dengan cara baru. Cara baru yang lebih baik dari sebelumnya.
Terimakasih telah memilihkan saya berjalan dijalan ini Ya Rabb..... 
Dan terimakasih untuk 1080 hari yang begitu mengagumkan SMAN 3 Madiun. Terimakasih untuk senantiasa berdiri kokoh meskipun terkadang saya ingin meruntuhkan sudut-sudut yang tak jarang membuat saya merasa seperti dipenjara. Terimakasih untuk selalu membuka lebar-lebar pintu gerbang yang bahkan terkadang tidak ingin saya lewati. Dan terimakasih untuk mengajarkan begitu banyak hal tanpa harus bergerak dan melakukan sesuatu.
Sungguh, suatu hari nanti. Pasti saya akan merindukan suasana ini. Suasana senang, sedih, marah, kecewa, benci, tertawa ataupun menangis. Dengan segala kurang lebih yang ada pada sosokmu, sungguh. Kau sekolah yang mengagumkan. Sekolah yang mengajarkan apa arti bekerja keras, apa arti ikhlas, apa arti bersabar, apa arti dewasa, apa arti beradaptasi, memahami dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi. Dengan segala rasa bangga dan kecewa, sungguh TERIMAKASIH, SMAN 3 MADIUN !!!!!!!!! LOVE YOU ! :)
 
 
 (Musa) menjawab, “Tuhan kami, Ia-lah yang memberikan segala sesuatu bentuk kejadiannya, dan kemudian membimbingnya” QS Thaahaa

Monday, August 19, 2013

Papa's Girl ♥









Krisis Jati Diri



“ Telah Kami jelaskan kepada manusia dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan, tapi manusia, dalam banyak hal, suka membantah.” –QS Al Kahfi (Gua) 18:54
Saya mengangguk. Menciumi Al-Qur’an saya, benar-benar ingin menangis. Ketika duniawi sudah membuat saya bahagia, sering kali saya melupakan kebahagian yang lebih hakiki, akhirat….
Saya berhijab sejak kecil karena sejak TK saya disekolahkan di sekolah Islami hingga tamat SD. Alhasil saya berhijab bukan dari hati, tapi karena tuntunan. Saat saya SMP hingga menginjak SMA saya bersekolah disekolah Negri, saya mulai mengalami pergolakan dalam diri saya. Seperti ingin melepas hijab dan berpakaian sesuka saya. Karena melihat teman-teman saya berdandan lucu-lucu dan cantik-cantik dengan rambut dan pakaiannya, saya selalu ingin mengikuti. (Pada saat itu, baju muslim belum semodis saat ini). Namun orang tua saya selalu menekankan pentingnya berhijab. Tidak dengan kata-kata, hanya mengajarkan dengan contoh nyata. (Mama saya selalu memakai hijab saat keluar dari pintu rumah ataupun bertemu seseorang yang bukan muhrim). Saat itu saya merasa berhijab percuma jika hatinya tidak dihijabi terlebih dahulu. Maksud saya, berhijab tetapi hatinya penuh dengan prasangka buruk. Hingga saya menginjak kelas 2 SMA, perlahan saya merasa yakin dengan sendirinya untuk tidak melepas hijab sembarangan. Meskipun cara saya berhijab belum sepenuhnya memenuhi syariat Islam. Sekali lagi, saya mulai membantah aturan, bahwa menurut saya, hal itu tidak apa-apa. Pelan-pelan dulu. Secara tidak langsung, saya mulai membuat aturan baru.
Diakhir saya kelas 1 SMA, saya mulai berpacaran. Saya tidak tahu, apa yang membuat saya melakukan ini. Yang saya sadari, saya tahu berpacaran itu dilarang dalam Islam tetapi saya masih saja melakukannya. Saya berpendapat bahwa selagi saya tidak melakukan hal yang melampaui batas tidak apa-apa. Sekali lagi, saya membuat aturan baru ‘lagi’.
Setiap hari, Mama saya selalu menekankan saya untuk rajin membaca Al-Qur’an. Minimal setiap hari setelah shalat Magrib. Saya memang sudah melaksanakannya, ikhlas. Tapi saya tidak pernah mau membaca Al-Qur’an beserta artinya. Saya selalu berpendapat bahwa saya belum siap. Nanti dulu, ditunda dulu. Saya beranggapan bahwa jika saya membaca Al-Qur’an dan mengerti artinya, maka saya akan tahu mana yang dilarang Allah, mana yang diperintahkan-Nya. Dan jika saya mengetahui larangannya dan saya masih saja melakukannya, pastilah saya berdosa besar. Namun jika saya tidak tahu bahwa itu larangan dan saya melakukannya, saya berpendapat bahwa saya tidak berdosa karena saya tidak tahu hukumnya. Lucu sekali pemikiran saya saat itu. Hingga akhirnya, beberapa minggu yang lalu saat bulan Ramadhan. Saat saya sudah berada dikelas 3 SMA, saya memberanikan diri untuk membeli Al-Qur’an terjemahan dan mulai mempelajarinya.
            “Sungguh, untuk neraka jahanam. Kami ciptakan kebanyakan jin dan manusia. Mereka mempunyai mata yang tiada dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka mempunyai telinga, yang tiada dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Merekalah orang-orang yang lalai.” –QS Al A’raaf (Tempat yang Tinggi) 7:179
“Tiadakah mereka melakukan perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka mengerti, dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tapi yang buta ialah hatinya yang ada dalam (ronga) dadanya.” –QS Al Hajj (Haji) 22:46
            Saya kembali ‘ingin’ menangis. Betapa berdosanya saya ini. Mengingkari kebenaran dan membutakan sendiri hati pemberian. Saat ini, saya sedang benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
            Saya teringat kata-kata teman sekelas saya saat suatu pagi membicarakan tentang larangan-larangan dalam agama Islam. Ia berkata bahwa Islam itu berlebihan. Banyak aturan, aneh-aneh. Merepotkan. Yang jelas-jelas Islam juga agamanya. Saya hanya diam, mendengarkan. Tidak membenarkan tidak juga menyalahkan. Karena menurut saya ada beberapa yang benar dan ada beberapa yang salah. Jadi saya hanya diam, memikirkan pernyataan setahun lalu itu hingga malam ini saya membawanya ke topik pembicaraan posting blog saya. Saya menyadari bahwa saya bukanlah gadis Islam berhijab yang baik sepenuhnya. Saya hanya gadis belasan tahun yang masih menata ritme nafasnya secara vertical. Yang masih mencari-cari jati diri ditengah kehidupan global yang mengerikan. Yang masih memaksa-maksakan kesalahan menjadi kebenaran semu.
            Cara saya berhijab, pilihan saya berpacaran, kebiasaan saya membuat aturan-aturan baru, saya benar-benar tidak tahu harus saya akhiri kapan dan bagaimana. Untuk sementara, saya hanya mampu berfikir bahwa saya selalu ingin menjadi manusia yang lebih baik untuk agama saya. Karena menurut saya, agama apapun yang dianut, tidak pernah mengajarkan manusia menjadi lebih buruk. Dan karena saya menganut agama Islam, maka saya ingin menjadi manusia lebih baik menurut pedoman agama saya. Kapanpun itu, saya berharap saya akan menjadi lebih baik, secepatnya. Amien Ya Rabb ! J
Saya yakin bukan hanya saya yang mengalami hal seperti ini, semoga saja siapapun yang membaca posting saya kali ini bukan hanya membenarkan kesamaan pendapat dengan saya, tetapi mampu untuk mengambil sisi positif dan menjadi manusia yang lebih baik. Semoga bermanfaat !
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan mantap kepada agama menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” –QS Ar Ruum (Bangsa Romawi) 30:30

Bermain dengan Intuisi



            Ada yang mengganjal hati saya belakangan ini. Intuisi atau suara hati namanya, yang baru saya ketahui beberapa waktu yang lalu. Sore ini, setelah saya menunaikan sholat Ashar, tanpa melepas mukena (karena entah kenapa, tiba-tiba saya merasa nyaman sekali duduk berlama-lama ditempat shalat yang sebelumnya saya selalu bergegas seperti dikejar waktu untuk segera mengerjakan tugas-tugas duniawi) saya raih sebuah buku yang sudah lama ingin saya baca (nyaris 3 tahun) tapi tidak saya mulai-mulai, dan akhirnya sore ini saya baca juga. Begitu banyak anggukan universal (suara hati yang umum) yang saya dapatkan saat membaca buku The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar (Akan saya uriakan di posting saya selanjutnya jika saya sudah selesai membaca bukunya, InsyaAllah) yang sedang membahas tentang Intuisi atau suara hati. Sering sekali suara hati saya mengatakan sesuatu tapi dengan penghitungan yang sama seperti suara hati saya, saya mengabaikannya. Dan celakanya, semua intuisi saya yang lalu selalu terjadi sehingga saya selalu merasa kecewa kenapa saya selalu mengabaikannya. Menurut buku The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar di halaman 199, Suara hati seringkali membisikkan dan membimbing apa yang dirasa benar dan apa yang dirasa salah dimasa sekarang dimana akhirnya benar-benar terbukti dimasa akan datang. Dan itu memang benar, saya baru menyadarinya sore ini.
            Apakah anda pernah mengabaikan suara hati anda dan kemudian merasa kecewa karena telah mengabaikannya? Atau anda merasa ragu apakah suara hati memang benar-benar berpengaruh terhadap masa depan anda? Saya akan ceritakan satu contoh yang saya kutib dari buku The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar di halaman 118.
            Di tengah melonjaknya penjualan sebuah produk unggulan dari PT Prima Bhakti, CEO Perusahaan tersebut justru mulai menjajaki suatu kerjasama alternative produk sejenis dengan perusahaan perbankan lainnya. Tidak ada seorang pun dari tim manajemen yang mendukung hal itu. Mereka mengatakan : “Untuk apa lagi, bukankah kerjasama dengan perusahaan perbankan ini sudah lancar? Lagi pula perusahaan lainnya itu lebih kecil.”
            Suara hati sang CEO mengatakan, dirinya harus bersiap-siap menghadapi kondisi bisnis yang acapkali tak menentu itu dengan kewaspadaan tinggi. Dorongan suara hati itu kemudian diikutinya, “Tidak mungkin perusahaan perbankan yang sedang bekerja sama dengan kita ini akan memutuskan kerjasama bisnis kita. Ini proyek yang sangat menguntungkan bagi mereka. Hitung saja setiap pelanggan membayar Rp. 100.000,- kepada mereka, sedang pelanggan kita telah mencapai 50.000 orang.” Secara logika memang benar, tetapi suara hati sang CEO mengatakan tidak. Tim manajemen tetap mengatakan “Tidak masuk akal.”
            Benar saja, beberapa waktu kemudian, perusahaan perbankan tersebut mengajak rapat mendadak dan menyampaikan bahwa kerja sama terpaksa dihentikan karena mereka mendapat tekanan dari sebuah perusahaan asing raksasa yang merasa tersaingi dengan kehadiran produk PT Prima Bhakti tersebut.
            Manajemen PT Prima Bhakti sangat terpukul. Mereka sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi begitu mendadak, namun sang CEO tersenyum karena hal tersebut telah bisa ia rasakan sebelumnya sehingga segala sesuatunya telah ia siapkan secara matang untuk mengantisipasi kejadian tersebut. Katanya: “Saya ingin memberikan pelajaran yang berharga kepada jajaran manajemen, agar mereka tidak hanya menggunakan kecerdasan IQ saja, tetapi juga intuisi atau suara hati yang bersumber pada kecerdasan spiritual.”
            Akhirnya, proses pemindahan dari bank rekaan lama ke yang baru hanya memakan waktu tak lebih dari 14 hari. Semua berjalan lancar kembali, tanpa suatu goncangan yang berarti. Sesuatu telah menyelamatkan perusahaan tersebut, yaitu bisikan suara hati atau orang sering menamakannya “intuisi bisnis.”
            Nah, mungkin setelah membaca kutipan kisah dari buku karya Ary Ginanjar tersebut, anda mulai mengerti betapa pentingnya sebuah intuisi. Bukan hanya intuisi bisnis. Dalam bidang apapun intuisi tersebut, menurut saya sama-sama pentingnya. Semoga dengan posting saya kali ini, akan lebih berkurang Aini-Aini ceroboh yang suka mengabaikan intuisi. Sebenarnya hal ini memang terlihat begitu kecil dan sederhana. Namun, jika sudah terjadi pastilah akan membuat kecewa pihak yang bersangkutan. Lupakan intuisi yang terlanjur terabaikan dimasa lalu, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Semoga dengan posting kali ini, akan membangunkan keyakinan-keyakinan baru akan pentingnya intusi seperti CEO PT Prima Bhakti. Amin Ya Rabb ! J
Maka, Allah senantiasa mendampingi Anda, dengan suara-suara hati yang merupakan sifat-sifatNya. Apabila Anda terjatuh, sadarlah, itu artinya masih banyak ilmu Allah yang belum anda ketahui. Pelajari kesalahan tersebut, cari jawaban mengapa anda jatuh. Ambil jurus kedua dan bangkitlah kembali. Allah yang Maha Agung begitu mencintai anda dan menunggu kemenangan anda.  -The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar halaman 120

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...