"I'm not telling you it's going to be easy. I'm telling you it's going to be worth it"
Monday, August 19, 2013
Krisis Jati Diri
“ Telah Kami jelaskan kepada
manusia dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan, tapi manusia, dalam
banyak hal, suka membantah.” –QS Al Kahfi (Gua) 18:54
Saya mengangguk. Menciumi Al-Qur’an
saya, benar-benar ingin menangis. Ketika duniawi sudah membuat saya bahagia,
sering kali saya melupakan kebahagian yang lebih hakiki, akhirat….
Saya
berhijab sejak kecil karena sejak TK saya disekolahkan di sekolah Islami hingga
tamat SD. Alhasil saya berhijab bukan dari hati, tapi karena tuntunan. Saat
saya SMP hingga menginjak SMA saya bersekolah disekolah Negri, saya mulai
mengalami pergolakan dalam diri saya. Seperti ingin melepas hijab dan
berpakaian sesuka saya. Karena melihat teman-teman saya berdandan lucu-lucu dan
cantik-cantik dengan rambut dan pakaiannya, saya selalu ingin mengikuti. (Pada
saat itu, baju muslim belum semodis saat ini). Namun orang tua saya selalu
menekankan pentingnya berhijab. Tidak dengan kata-kata, hanya mengajarkan
dengan contoh nyata. (Mama saya selalu memakai hijab saat keluar dari pintu
rumah ataupun bertemu seseorang yang bukan muhrim). Saat itu saya merasa
berhijab percuma jika hatinya tidak dihijabi terlebih dahulu. Maksud saya,
berhijab tetapi hatinya penuh dengan prasangka buruk. Hingga saya menginjak
kelas 2 SMA, perlahan saya merasa yakin dengan sendirinya untuk tidak melepas
hijab sembarangan. Meskipun cara saya berhijab belum sepenuhnya memenuhi
syariat Islam. Sekali lagi, saya mulai membantah aturan, bahwa menurut saya, hal
itu tidak apa-apa. Pelan-pelan dulu. Secara tidak langsung, saya mulai membuat
aturan baru.
Diakhir
saya kelas 1 SMA, saya mulai berpacaran. Saya tidak tahu, apa yang membuat saya
melakukan ini. Yang saya sadari, saya tahu berpacaran itu dilarang dalam Islam
tetapi saya masih saja melakukannya. Saya berpendapat bahwa selagi saya tidak
melakukan hal yang melampaui batas tidak apa-apa. Sekali lagi, saya membuat
aturan baru ‘lagi’.
Setiap
hari, Mama saya selalu menekankan saya untuk rajin membaca Al-Qur’an. Minimal
setiap hari setelah shalat Magrib. Saya memang sudah melaksanakannya, ikhlas.
Tapi saya tidak pernah mau membaca Al-Qur’an beserta artinya. Saya selalu
berpendapat bahwa saya belum siap. Nanti dulu, ditunda dulu. Saya beranggapan
bahwa jika saya membaca Al-Qur’an dan mengerti artinya, maka saya akan tahu
mana yang dilarang Allah, mana yang diperintahkan-Nya. Dan jika saya mengetahui
larangannya dan saya masih saja melakukannya, pastilah saya berdosa besar.
Namun jika saya tidak tahu bahwa itu larangan dan saya melakukannya, saya berpendapat
bahwa saya tidak berdosa karena saya tidak tahu hukumnya. Lucu sekali pemikiran
saya saat itu. Hingga akhirnya, beberapa minggu yang lalu saat bulan Ramadhan.
Saat saya sudah berada dikelas 3 SMA, saya memberanikan diri untuk membeli
Al-Qur’an terjemahan dan mulai mempelajarinya.
“Sungguh, untuk
neraka jahanam. Kami ciptakan kebanyakan jin dan manusia. Mereka mempunyai mata
yang tiada dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka mempunyai telinga, yang
tiada dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Merekalah orang-orang yang lalai.” –QS Al A’raaf (Tempat yang
Tinggi) 7:179
“Tiadakah mereka melakukan
perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
mengerti, dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Sungguh,
bukanlah matanya yang buta, tapi yang buta ialah hatinya yang ada dalam (ronga)
dadanya.” –QS Al Hajj (Haji) 22:46
Saya kembali ‘ingin’ menangis. Betapa berdosanya saya
ini. Mengingkari kebenaran dan membutakan sendiri hati pemberian. Saat ini,
saya sedang benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Saya teringat kata-kata teman sekelas saya saat suatu
pagi membicarakan tentang larangan-larangan dalam agama Islam. Ia berkata bahwa
Islam itu berlebihan. Banyak aturan, aneh-aneh. Merepotkan. Yang jelas-jelas
Islam juga agamanya. Saya hanya diam, mendengarkan. Tidak membenarkan tidak
juga menyalahkan. Karena menurut saya ada beberapa yang benar dan ada beberapa
yang salah. Jadi saya hanya diam, memikirkan pernyataan setahun lalu itu hingga
malam ini saya membawanya ke topik pembicaraan posting blog saya. Saya
menyadari bahwa saya bukanlah gadis Islam berhijab yang baik sepenuhnya. Saya
hanya gadis belasan tahun yang masih menata ritme nafasnya secara vertical.
Yang masih mencari-cari jati diri ditengah kehidupan global yang mengerikan.
Yang masih memaksa-maksakan kesalahan menjadi kebenaran semu.
Cara saya berhijab, pilihan saya berpacaran, kebiasaan
saya membuat aturan-aturan baru, saya benar-benar tidak tahu harus saya akhiri
kapan dan bagaimana. Untuk sementara, saya hanya mampu berfikir bahwa saya
selalu ingin menjadi manusia yang lebih baik untuk agama saya. Karena menurut
saya, agama apapun yang dianut, tidak pernah mengajarkan manusia menjadi lebih
buruk. Dan karena saya menganut agama Islam, maka saya ingin menjadi manusia
lebih baik menurut pedoman agama saya. Kapanpun itu, saya berharap saya akan
menjadi lebih baik, secepatnya. Amien Ya Rabb ! J
Saya
yakin bukan hanya saya yang mengalami hal seperti ini, semoga saja siapapun
yang membaca posting saya kali ini bukan hanya membenarkan kesamaan pendapat
dengan saya, tetapi mampu untuk mengambil sisi positif dan menjadi manusia yang
lebih baik. Semoga bermanfaat !
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
mantap kepada agama menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada
manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allah. Itulah agama yang
benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” –QS Ar Ruum (Bangsa Romawi)
30:30
Bermain dengan Intuisi
Ada yang mengganjal hati saya belakangan ini. Intuisi
atau suara hati namanya, yang baru saya ketahui beberapa waktu yang lalu. Sore
ini, setelah saya menunaikan sholat Ashar, tanpa melepas mukena (karena entah
kenapa, tiba-tiba saya merasa nyaman sekali duduk berlama-lama ditempat shalat yang
sebelumnya saya selalu bergegas seperti dikejar waktu untuk segera mengerjakan
tugas-tugas duniawi) saya raih sebuah buku yang sudah lama ingin saya baca
(nyaris 3 tahun) tapi tidak saya mulai-mulai, dan akhirnya sore ini saya baca
juga. Begitu banyak anggukan universal (suara hati yang umum) yang saya
dapatkan saat membaca buku The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar (Akan saya uriakan di
posting saya selanjutnya jika saya sudah selesai membaca bukunya, InsyaAllah)
yang sedang membahas tentang Intuisi atau suara hati. Sering sekali suara hati
saya mengatakan sesuatu tapi dengan penghitungan yang sama seperti suara hati
saya, saya mengabaikannya. Dan celakanya, semua intuisi saya yang lalu selalu terjadi
sehingga saya selalu merasa kecewa kenapa saya selalu mengabaikannya. Menurut
buku The
ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar
di halaman 199, Suara hati seringkali
membisikkan dan membimbing apa yang dirasa benar dan apa yang dirasa salah
dimasa sekarang dimana akhirnya benar-benar terbukti dimasa akan datang. Dan
itu memang benar, saya baru menyadarinya sore ini.
Apakah anda pernah mengabaikan suara hati anda dan
kemudian merasa kecewa karena telah mengabaikannya? Atau anda merasa ragu
apakah suara hati memang benar-benar berpengaruh terhadap masa depan anda? Saya
akan ceritakan satu contoh yang saya kutib dari buku The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar di halaman 118.
Di tengah
melonjaknya penjualan sebuah produk unggulan dari PT Prima Bhakti, CEO
Perusahaan tersebut justru mulai menjajaki suatu kerjasama alternative produk
sejenis dengan perusahaan perbankan lainnya. Tidak ada seorang pun dari tim
manajemen yang mendukung hal itu. Mereka mengatakan : “Untuk apa lagi, bukankah
kerjasama dengan perusahaan perbankan ini sudah lancar? Lagi pula perusahaan
lainnya itu lebih kecil.”
Suara hati sang CEO mengatakan,
dirinya harus bersiap-siap menghadapi kondisi bisnis yang acapkali tak menentu
itu dengan kewaspadaan tinggi. Dorongan suara hati itu kemudian diikutinya, “Tidak
mungkin perusahaan perbankan yang sedang bekerja sama dengan kita ini akan
memutuskan kerjasama bisnis kita. Ini proyek yang sangat menguntungkan bagi
mereka. Hitung saja setiap pelanggan membayar Rp. 100.000,- kepada mereka,
sedang pelanggan kita telah mencapai 50.000 orang.” Secara logika memang benar,
tetapi suara hati sang CEO mengatakan tidak. Tim manajemen tetap mengatakan
“Tidak masuk akal.”
Benar saja, beberapa waktu kemudian,
perusahaan perbankan tersebut mengajak rapat mendadak dan menyampaikan bahwa
kerja sama terpaksa dihentikan karena mereka mendapat tekanan dari sebuah
perusahaan asing raksasa yang merasa tersaingi dengan kehadiran produk PT Prima
Bhakti tersebut.
Manajemen PT Prima Bhakti sangat
terpukul. Mereka sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi begitu
mendadak, namun sang CEO tersenyum karena hal tersebut telah bisa ia rasakan
sebelumnya sehingga segala sesuatunya telah ia siapkan secara matang untuk
mengantisipasi kejadian tersebut. Katanya: “Saya ingin memberikan pelajaran
yang berharga kepada jajaran manajemen, agar mereka tidak hanya menggunakan
kecerdasan IQ saja, tetapi juga intuisi atau suara hati yang bersumber pada
kecerdasan spiritual.”
Akhirnya, proses pemindahan dari
bank rekaan lama ke yang baru hanya memakan waktu tak lebih dari 14 hari. Semua
berjalan lancar kembali, tanpa suatu goncangan yang berarti. Sesuatu telah
menyelamatkan perusahaan tersebut, yaitu bisikan suara hati atau orang sering
menamakannya “intuisi bisnis.”
Nah, mungkin setelah membaca kutipan kisah dari buku
karya Ary Ginanjar tersebut, anda mulai mengerti betapa pentingnya sebuah
intuisi. Bukan hanya intuisi bisnis. Dalam bidang apapun intuisi tersebut,
menurut saya sama-sama pentingnya. Semoga dengan posting saya kali ini, akan
lebih berkurang Aini-Aini ceroboh yang suka mengabaikan intuisi. Sebenarnya hal
ini memang terlihat begitu kecil dan sederhana. Namun, jika sudah terjadi
pastilah akan membuat kecewa pihak yang bersangkutan. Lupakan intuisi yang
terlanjur terabaikan dimasa lalu, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Semoga dengan
posting kali ini, akan membangunkan keyakinan-keyakinan baru akan pentingnya
intusi seperti CEO PT Prima Bhakti. Amin Ya Rabb ! J
Maka, Allah senantiasa mendampingi
Anda, dengan suara-suara hati yang merupakan sifat-sifatNya. Apabila Anda
terjatuh, sadarlah, itu artinya masih banyak ilmu Allah yang belum anda
ketahui. Pelajari kesalahan tersebut, cari jawaban mengapa anda jatuh. Ambil
jurus kedua dan bangkitlah kembali. Allah yang Maha Agung begitu mencintai anda
dan menunggu kemenangan anda. -The ESQ Way 165 karya Ary Ginanjar
halaman 120
Subscribe to:
Posts (Atom)
Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride
Hai, I know it's already 2018, but how your 2017? What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...
