Apa yang kalian pikirkan pertama kali jika mendengar kata
“kematian”? Sebuah tangisan? Ketakutan? Kesedihan? Atau kehilangan?
Maka aku memilih untuk menyebutnya sebuah kegelapan.
Jika kalian cukup mengulik jauh blog ini, maka kalian
akan menemukan banyak luka yang menguar. Luka tentang kematian dan kehilangan,
luka yang bertahun-tahun selalu kucoba untuk disembuhkan. Maka setelah sekian
lama aku tidak membicarakannya, malam ini, entah mengapa aku ingin kembali
bergumul dengannya.
Aku tahu, kematian memang sesuatu yang pasti. Pun
dengan yang namanya kehilangan. Dengan gamblang, Sapardi Djoko Damono bahkan mengungkapkan bahwa ketakutan terhadap kematian dan kelahiran merupakan hal yang sangat wajar, yang sama sekali tidak bisa dipahami namun pasti akan terjadi. Aku bukan seorang filsuf yang menurut Sapardi sudah cukup akrab dengan pembahasan tentang tiga serangkai yang pelik nan muskyil yaitu: lahir, hidup, mati.
Pun, aku bukan sastrawan layaknya Amir Hamzah yang mampu menghidupkan keambiguan antara ketakutan dan kesiapan terhadap sebuah kematian. Syairku belum mampu menandingi sajak "Karikatur Orang Kedinginan". Aku hanyalah aku, seorang gadis yang mencoba berobat dengan rentetan kata, yang rajin ia susun agar lupa rasanya sakit karena luka.
Aku sempat mengira bahwa kematian yang
lalu-lalu sudah cukup mampu menegarkanku. Tapi nyatanya tidak. Kuakui aku masih
takut bertatap muka dengannya.
Akhir-akhir ini, entah mengapa bayangan salah seorang
terpenting di hidupku terus berkelebat. Frekuensinya semakin hari semakin hebat.
Membuatku tidak tenang dan semakin diliputi oleh rasa ketakutan. Kemudian aku tersadar, bahwa sekeras apapun
kusamarkan, ‘ia’ memang tidak berkendak untuk pergi
seutuhnya. Lantas ketika bayang-bayang kematian kembali muncul, aku jadi kelimpungan
dan semakin tidak karuan.
Teruntuk, hati yang belum pulih seutuhnya. Kau masih mau berjuang untuk menyembuhkannya, bukan?
Yogyakarta, 2 Juni 2018
Ditulis ketika semakin takut untuk
kehilangan Eyang Putri.