"Mencintai Bapak,
menghormatinya jadi keperluan hidup kami, itulah bahagia kami yang terutama.
Bila hilang rasa Cinta itu, akan gelap sajalah hidup kami. Dari tangannyalah
kami hendak menerima bahagia itu, bila tidak bagi kami bukanlah bahagia namanya.
Bila tiada merasa cintanya lagi, selama-lamanya kami tiada akan merasa bahagia
sepenuhnya"
--Potongan Surat
Kartini kepada Nyonya Cvink Soer pada Agustus 1900—
Potongan surat Kartini diatas mampu memaksa saya untuk membuka kotak memori dua tahun yang lalu. Pada akhirnya, tulisan Kartini mampu menuntun saya pula untuk kembali menulis. Namun, sebenar-benarnya, saya tidak seperti Kartini yang kala itu
sedang bergolak dengan batinnya akibat sebuah dilema diantara harus memilih cita-cita
atau sang Bapak. Pun justru sebenar-benarnya, saya hanyalah sesosok gadis yang nyaris
kehilangan cita-citanya akibat kepergian sang Bapak. Untungnya, saya masih
memiliki kesamaan dengan Raden Ajeng Kartini. Sama-sama mencintai Bapak. Ya,
itu yang sama. Ketika tulisan selanjutnya saya mulai, sebutan Bapak akan saya
ubah menjadi Papa. Selayaknya saya memanggil beliau dulu kala. Supaya saya bisa
merasakan kehadiran beliau secara lebih dekat...
Potongan foto-foto
diatas diambil ditahun 2015. Foto yang bagian kanan, diambil ketika saya sedang memutarkan video memori tentang Papa disesi kejutan untuk kakak saya. Sisanya, di foto sebelah kiri, ada saya bersama nenek dan keluarga saya yang sedang menangis haru ketika Om
saya mengambil alih posisi Papa dalam mengucapkan ijab kabul. Sejujurnya, saya sudah menyiapkan mental baja jauh-jauh hari
sebelum pernikahan ini terjadi. Mungkin bisa dibilang saya sudah
mempersiapkannya sejak tanggal pernikahan tersebut ditetapkan. Sayangnya,
sekuat apapun mental saya, tetap saja kalimat "selama-lamanya kami tiada akan merasa bahagia sepenuhnya"
cukup menjelaskan alasan saya gagal dalam misi ini.
----Sebelumnya, sebelum saya menulis lebih
lanjut, alangkah lebih baiknya apabila siapapun yang sedang membaca paragraf
ini terlebih dahulu membaca postingan saya disini "People Changes, Memories Don't" lalu dilanjutkan disini "Dear My Never Ending Love" .Hal inipun bertujuan agar siapapun yang membaca postingan ini dapat lebih
mengerti jalan ceritanya.-----
Satu hari
sebelum akad nikah dilakukan, saudara-saudara saya tidak bosan-bosan mengulang
nasehatnya. "Ingat ya dek, besok pas
akadnya mbak Ocha gak boleh nangis. Ditahan ya, sampe acaranya selesai"
Sungguh sebelum mereka mengingatkan pun saya sudah mengerti. Namun memang
nampaknya mereka takut kalau-kalau saya hilang kendali lagi. Singkat cerita,
ketika malam lamaran, Om saya (yang menjadi wali nikah kakak saya) juga datang.
Beliau menjadi wali dari keluarga kami saat itu. Saya, yang semenjak
meninggalnya Papa tidak pernah bertemu beliau menjadi delusi setengah mati.
Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 10 tahun, saya bertemu lagi dengan adik
Papa saya yang wajah dan perawakannya nyaris mirip dengan Papa 90%. Sungguh,
setengah mati saya menahan delusi sampai acara usai. Selesai acara, saya tak
sanggup lagi, saya peluk erat beliau setengah mati. Menangis sejadi-jadinya.
Melebur bersama memori yang sudah diaduk-aduk dengan delusi, hingga pada
akhirnya saya harus berakhir ditidurkan di ranjang sampai pagi. Kala itu, seluruh
keluarga besar saya terpaksa menangis bersama. Atas dasar hal ini, mereka
kembali mewanti-wanti agar hal yang sama tidak akan terjadi.
Sayangnya,
nasehat keluarga saya dan perjuangan saya sia-sia. Tepat ketika lagu "One Thousand Years" diputar dan
saya harus mengantarkan kakak saya pada meja akad, air mata saya sudah menetes.
Berulang kali saya tahan, berulang kali juga saya gagal. Ketika Om saya sudah
memulai kalimat akadnya, saya kembali menangis. Saya bisa merasakan betul
suaranya bergetar. Sementara itu, dihadapannya, dibalik kursi kakak saya, saya
sedang berjuang mati-matian membunuh delusi yang sudah mulai meranggas dengan
ganas. Semakin saya tatap Om saya, semakin saya lihat sosok Papa dimata beliau.
Semakin saya mendekat semakin kuat rasa sakit yang saya rasa. Kala itu, sudah
10 tahun berlalu. Di hari yang seharusnya bahagia, masih saja saya tak bisa
membendung air mata. Sungguh, memang benar pula kata Kartini.
Alangkah ajaibnya rasa Kasih sayang, dapat
jadi sorga, dapat pula jadi neraka. Mencintai Bapak, menghormatinya jadi
keperluan hidup kami, itulah bahagia kami yang terutama. Bila hilang rasa Cinta
itu, akan gelap sajalah hidup kami. Dari tangannyalah kami hendak menerima
bahagia itu, bila tidak bagi kami bukanlah bahagia namanya. Bila tiada merasa
cintanya lagi, selama-lamanya kami tiada akan merasa bahagia sepenuhnya, dan
bila ada juga merasa cintanya maka kemalangan kami pun tidak akan pernah terasa
segenapnya.
Teruntuk lelaki pertama dihidupku.
Kali ini aku menulis tentangmu, lagi.
Bagaimana kabarmu, Pah?
Aku merindukanmu.
Setengah mati.
Lagi.
Dan lagi.
Bagaimana ini?