“ Telah Kami jelaskan kepada
manusia dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan, tapi manusia, dalam
banyak hal, suka membantah.” –QS Al Kahfi (Gua) 18:54
Saya mengangguk. Menciumi Al-Qur’an
saya, benar-benar ingin menangis. Ketika duniawi sudah membuat saya bahagia,
sering kali saya melupakan kebahagian yang lebih hakiki, akhirat….
Saya
berhijab sejak kecil karena sejak TK saya disekolahkan di sekolah Islami hingga
tamat SD. Alhasil saya berhijab bukan dari hati, tapi karena tuntunan. Saat
saya SMP hingga menginjak SMA saya bersekolah disekolah Negri, saya mulai
mengalami pergolakan dalam diri saya. Seperti ingin melepas hijab dan
berpakaian sesuka saya. Karena melihat teman-teman saya berdandan lucu-lucu dan
cantik-cantik dengan rambut dan pakaiannya, saya selalu ingin mengikuti. (Pada
saat itu, baju muslim belum semodis saat ini). Namun orang tua saya selalu
menekankan pentingnya berhijab. Tidak dengan kata-kata, hanya mengajarkan
dengan contoh nyata. (Mama saya selalu memakai hijab saat keluar dari pintu
rumah ataupun bertemu seseorang yang bukan muhrim). Saat itu saya merasa
berhijab percuma jika hatinya tidak dihijabi terlebih dahulu. Maksud saya,
berhijab tetapi hatinya penuh dengan prasangka buruk. Hingga saya menginjak
kelas 2 SMA, perlahan saya merasa yakin dengan sendirinya untuk tidak melepas
hijab sembarangan. Meskipun cara saya berhijab belum sepenuhnya memenuhi
syariat Islam. Sekali lagi, saya mulai membantah aturan, bahwa menurut saya, hal
itu tidak apa-apa. Pelan-pelan dulu. Secara tidak langsung, saya mulai membuat
aturan baru.
Diakhir
saya kelas 1 SMA, saya mulai berpacaran. Saya tidak tahu, apa yang membuat saya
melakukan ini. Yang saya sadari, saya tahu berpacaran itu dilarang dalam Islam
tetapi saya masih saja melakukannya. Saya berpendapat bahwa selagi saya tidak
melakukan hal yang melampaui batas tidak apa-apa. Sekali lagi, saya membuat
aturan baru ‘lagi’.
Setiap
hari, Mama saya selalu menekankan saya untuk rajin membaca Al-Qur’an. Minimal
setiap hari setelah shalat Magrib. Saya memang sudah melaksanakannya, ikhlas.
Tapi saya tidak pernah mau membaca Al-Qur’an beserta artinya. Saya selalu
berpendapat bahwa saya belum siap. Nanti dulu, ditunda dulu. Saya beranggapan
bahwa jika saya membaca Al-Qur’an dan mengerti artinya, maka saya akan tahu
mana yang dilarang Allah, mana yang diperintahkan-Nya. Dan jika saya mengetahui
larangannya dan saya masih saja melakukannya, pastilah saya berdosa besar.
Namun jika saya tidak tahu bahwa itu larangan dan saya melakukannya, saya berpendapat
bahwa saya tidak berdosa karena saya tidak tahu hukumnya. Lucu sekali pemikiran
saya saat itu. Hingga akhirnya, beberapa minggu yang lalu saat bulan Ramadhan.
Saat saya sudah berada dikelas 3 SMA, saya memberanikan diri untuk membeli
Al-Qur’an terjemahan dan mulai mempelajarinya.
“Sungguh, untuk
neraka jahanam. Kami ciptakan kebanyakan jin dan manusia. Mereka mempunyai mata
yang tiada dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka mempunyai telinga, yang
tiada dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Merekalah orang-orang yang lalai.” –QS Al A’raaf (Tempat yang
Tinggi) 7:179
“Tiadakah mereka melakukan
perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
mengerti, dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Sungguh,
bukanlah matanya yang buta, tapi yang buta ialah hatinya yang ada dalam (ronga)
dadanya.” –QS Al Hajj (Haji) 22:46
Saya kembali ‘ingin’ menangis. Betapa berdosanya saya
ini. Mengingkari kebenaran dan membutakan sendiri hati pemberian. Saat ini,
saya sedang benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Saya teringat kata-kata teman sekelas saya saat suatu
pagi membicarakan tentang larangan-larangan dalam agama Islam. Ia berkata bahwa
Islam itu berlebihan. Banyak aturan, aneh-aneh. Merepotkan. Yang jelas-jelas
Islam juga agamanya. Saya hanya diam, mendengarkan. Tidak membenarkan tidak
juga menyalahkan. Karena menurut saya ada beberapa yang benar dan ada beberapa
yang salah. Jadi saya hanya diam, memikirkan pernyataan setahun lalu itu hingga
malam ini saya membawanya ke topik pembicaraan posting blog saya. Saya
menyadari bahwa saya bukanlah gadis Islam berhijab yang baik sepenuhnya. Saya
hanya gadis belasan tahun yang masih menata ritme nafasnya secara vertical.
Yang masih mencari-cari jati diri ditengah kehidupan global yang mengerikan.
Yang masih memaksa-maksakan kesalahan menjadi kebenaran semu.
Cara saya berhijab, pilihan saya berpacaran, kebiasaan
saya membuat aturan-aturan baru, saya benar-benar tidak tahu harus saya akhiri
kapan dan bagaimana. Untuk sementara, saya hanya mampu berfikir bahwa saya
selalu ingin menjadi manusia yang lebih baik untuk agama saya. Karena menurut
saya, agama apapun yang dianut, tidak pernah mengajarkan manusia menjadi lebih
buruk. Dan karena saya menganut agama Islam, maka saya ingin menjadi manusia
lebih baik menurut pedoman agama saya. Kapanpun itu, saya berharap saya akan
menjadi lebih baik, secepatnya. Amien Ya Rabb ! J
Saya
yakin bukan hanya saya yang mengalami hal seperti ini, semoga saja siapapun
yang membaca posting saya kali ini bukan hanya membenarkan kesamaan pendapat
dengan saya, tetapi mampu untuk mengambil sisi positif dan menjadi manusia yang
lebih baik. Semoga bermanfaat !
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
mantap kepada agama menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada
manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allah. Itulah agama yang
benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” –QS Ar Ruum (Bangsa Romawi)
30:30
No comments:
Post a Comment