“Labirin
Kesempurnaan”
Oleh:
Aini Syarifah
K
|
esempurnaan dimataku, sang sayap kumbang…
Sesungguhnya aku tidak suka menunggu. Benar-benar tidak
suka. Bagiku, menunggu adalah hal yang paling memuakkan. Bagaimana tidak?
Disaat menunggu, kau hanya bisa terdiam mengikuti alur detik, menyapu pandangan
tanpa jeda, dan jika perjalanan detik itu sudah mulai merentet sekian lama,
akan mulai muncullah sederet kata-kata tanpa makna. Yang
intinya, menunggu itu membuat J-E-N-G-A-H. Benar, bukan?
Tapi, kali ini berbeda. Entah mengapa aku menikmati
situasi ini. Seolah-olah sensasi yang disajikan mampu membuatku bertahan untuk
tidak jengah. Semilir angin yang merayu helai-helai rambutku, para pejalan kaki
yang hilir mudik disampingku, kebulan asap yang mengepul dari secangkir hangat moccachinoku,
atau..ah semuanya. Sungguh aku menikmati semua sensasinya. Bahkan aku bisa
merasakan sudut-sudut bibirku ini terus mengembang, membentuk sudut setengah
lingkaran persis seperti siluet bulan sabit.
Mungkin, kali ini situasinya terlihat berbeda karena aku
sedang gembira. Kau tau? Hari ini adalah
hari yang istimewa bagiku. Ah tidak, maksudku, bagiku dan kekasihku. Ya, hari
ini genap tahun ke enam kami berpacaran. Aku tidak menyangka, sudah sejauh ini
kami melangkah. Aku selalu berharap, ia menjadi pemegang tahta kerajaanku yang
pertama sekaligus yang terakhir. Ditengah usiaku yang sudah mulai beranjak pada
angka 20 -..ah tidak, kurasa 21. Ah..bukan-bukan, mungkin 22. Atau bahkan..23,
ya? Ah, entahlah. Yang kuingat, antara kedelapan digit angka, dengan kisaran
keempat pasangan angka tersebut. Ya, kurasa begitu-, kurasa sudah waktunya
untukku memikirkan pembangunan kerajaan baruku. Bagaimana menurutmu? Apakah
sudah saatnya untukku memikirkan rancangan gaunku kelak? Atau membayangkan dekorasi
gedung resepsi kami nanti? Atau mulai memilih tanggal untuk pernikahan kami
esok? Em, atau bahkan mulai mencari informasi tentang Event Organizer
terkemuka? Oh ya, bagaimana menurutmu tentang rancangan undangkan pernikahan
kami kelak? Apakah aku harus turun tangan langsung untung merancang setiap
detail disainnya? Dan bagaimana tentang foto prawedding kami kelak?
Apakah aku harus….Oh yatuhan, kurasa alur imajinasiku sudah mulai merong-rong
kese gala penjuru. Membuat bibirku
menari nari kecil hingga berakhir pada siluet bulan sabit disudutnya.
Aku segera beralih meraih sebuah cermin yang kuletakkan
persis didalam tas pradaku, dan seketika kutemukan biasan wajahku dalam
benda itu. Kutemui wajahku yang sedang terlukis siluet bulan sabit disalah satu
sudutnya. Aku kembali memandangi cermin itu. Kali ini kutemui siluet bulan
sabit itu sedikit pudar, aku menggigit pelan bibir bawahku, keningku sedikit
berkerut. Oh tidak, aku terlihat berbeda. Seperti kutemui dua buah tomat yang
menempel tepat pada kedua pipi tirusku. Aku tertawa kecil, ya wajahku memerah. Perlahan
aku menutup cermin itu tepat disamping cangkir berisi moccachino. Kedua
tanganku mulai berjalan, lalu berpangku dan berhenti tepat diujung dagu
mungilku, sementara bibirku kembali membentuk sudut setengah lingkaran persis
seperti bulan sabit. Kedua bola mataku berbinar, berputar-putar hingga kemudian
terhenti dan terdiam.
Aku kembali
tersenyum, kutemui sosok yang kunanti disana. Ia berdiri terdiam, menatapku. Kuikuti
arah matanya, kulawan lurus arah pandangannya. Kali ini kedua mata kami
bertemu. Aku tersenyum kecil, terus terdiam. Membiarkan korneaku menjelajahi
paras tampannya. Paras tampan yang tak pernah kujengahi.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Ia menghambur
kearahku. Aku terus menatap paras tampannya. Keningnya sedikit berkerut.
“Menunggumu,”Aku tersenyum kecil. Kulihat ia menghela nafas
panjang, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” Lanjutku seraya
berdiri. Ia terlihat memutar otaknya, kemudian tersenyum pelan.
“Ya, tentu saja”
Aku ikut tersenyum seraya mendekap raga hangatnya. Ia
masih tersenyum, membiarkan ragaku menyelimuti tubuhnya. Kupejamkan mataku
perlahan, membiarkan seluruh ragaku merasakan sensasi yang tak pernah jengah untuk
kunikmati. Aroma tubuhnya, hangat raganya, hingga detakan selaras irama
jantungnya. Sungguh, aku benar-benar menikmatinya. Sementara aku menikmati
sensasinya, sang pemilik sensasi itu hanya terdiam, dan -hanya-akan-selalu-terdiam-.
Namun, meskipun begitu aku tidak pernah takut akan membuatnya berpaling. Karena
didalam rasaku, telah tersimpan jelas sebongkah kepercayaan akan rasanya. Sugesti
semu yang sudah kupatenkan sejak dulu, bahwa ia, akan selalu
bersamaku.
Kali ini mulai bisa kurasakan sentuhan jemarinya
menyambut rengkuhanku. Sudut bibirku seketika mengembang, terukir kembali
siluet bulan sabit disana. Perlahan kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya, dibuat
kuterbuai lagi oleh sensasinya. Aku kembali terdiam, membiarkan sensasinya
menggerogoti labirin paru-paruku, merayap pelan pada dinding-dinding jantungku,
hingga akhirnya meranggas habis semua oksigenku. Lumpuh. Benar-benar terasa lumpuh.
Ledakan sensasinya memang luar biasa. Ledakan yang mampu mendoktrin fungsi alam
bawah sadarku. Bersamanya, aku seperti menjelajahi lembah dunia yang berbeda.
Lembah dunia yang bertabur butiran-butiran kebahagiaan. Aku kembali tersenyum,
membiarkan nafasku terhela panjang. Kubuka mataku perlahan, dan kutemui
senyumnya menyambut tatapanku. Aku ikut tersenyum. Sugesti semuku mulai
mengalun, bahwa bersamanya, semua akan baik-baik saja.
Bola mataku berbinar. Seekor kupu-kupu hinggap diatas
keindahan. Mengajakku menikmati keelokkan mawar merah yang bertengger dijajaran
pot-pot kecil disudut kedai ini. Aku terus menikmati keelokan bunga itu, masih
tetap dalam dekapan kekasihku.
Bunga itu memang sempurna, kupu-kupu pun mengakuinya. Tanpa
kelopak, kesempurnaan itu hanya akan menjadi nama. Dan keindahan itu akan
tertinggal menjadi sebuah elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang
melahirkan sebuah kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Sugesti
semu itu sudah tertanam, bahwa hadirnya, adalah kesempurnaanku.
Masih bisa kurasakan hangat dekapnya. Sudut bibirku
semakin mengembang. Kulepas perlahan rengkuhanku, dan kubiarkan kornea ini
menjelajahi parasku yang terbias dalam korneanya. Kutemui siluet bulan sabit
dalam sudut bibirnya, paras tampannya kembali melumpuhkan dinding-dinding
jantungku. Aku mulai tenggelam dalam kerajaannya, kembali terbuai kedalam
lembah dunianya. Bibir mungilku terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku mencintaimu,
Dewangga Putra..”
*****
Kesempurnaan dimataku, sang Kelopak Bunga…
Aku benar-benar engah. Paru-paruku nyaris mengempis
secara permanen. Aku sudah nyaris gila, sebelum kutemui sosoknya terpaku
didepanku. Seketika kurasakan paru-paruku sudah mulai bekerja secara normal,
kala kutemukan senyumnya dalam jaringan korneaku. Aku segera menghambur
kearahnya. Kuharap ia baik-baik saja, dan membuat keadaan disekitarnya tetap
baik-baik saja. Karena aku takut, jika memorinya terhenti pada titik yang
salah, dan delusinya menjalar pada waktu yang tak tepat.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Keningku sedikit
berkerut, namun ditempa senyumnya yang mampu membungkus dengan apik lipatan
kerutku.
“Menunggumu,” Ia masih tersenyum, dengan kilatan binar matanya
yang berputar-putar, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” lanjutnya seraya
berdiri. Satu tungkai kakinya ia buat berdiri, kemudian diketuk-ketuknya pelan
pada dinding lantai kedai bergaya khas Indonesia ini. Sementara kedua tangannya
terlihat menggeliat pelan secara bergantian, diikuti jari-jemarinya yang
menari-nari kecil ditengah tautan genggamannya. Ia masih tersenyum tersipu
menanti jawaban.
Tak kusadari bibirku mengikuti langkahnya. Tersenyum
kecil seirama dengan nadanya. Kuputar bola mataku perlahan, tidak butuh waktu
lama –karena memang aku sudah menduga memorinya akan terhenti pada titik ini-
aku mengerti benar apa yang ia maksud. Dan oleh karena itu, aku nyaris mati
kepanikan karenanya. Karena kepergiannya secara tiba-tiba. Dan disaat kusadari
sosoknya tak ada dalam kamar bercat putih itu, kutemui kalender bertandakan
hari istimewa untuknya. Dan untungnya, tertuliskan tempat istimewa disalah satu
sudutnya.
“Ya, tentu saja” Aku tersenyum untuknya. Kutemui kedua
bola matanya kembali berbinar. Kali ini bisa kurasakan benar aroma shampo
nya. Ia mendekapku.
Bisa kurasakan jelas gerakan pelan pipi tirusnya pada
dadaku. Membuat jantungku berdesir-desir seirama. Kupejamkan
kedua mataku perlahan. Membiarkan raganya menyelimuti dinding-dinding tulang dinginku.
Seketika kurasakan kehangatan itu mengalir dan menjalar keseluruh tubuhku.
Terus berlanjut hingga terhenti tepat pada jantungku. Dan pada tempat itu,
kehangatan itu berubah menjadi pompa yang membuat pacuan jantungku kian
kencang. Menciptakan ritme yang tak bercontrol. Aku sudah gila, jantung ini
benar-benar tak mau diam. Pacuannya memang dasyat, hingga mampu melumpuhkan
sendi-sendi anggota tubuhku. Aku dibuat kaku olehnya.
Semakin
kurasakan sensasi rengkuhannya, semakin tak mampu aku untuk menyuarakan
sesuatu. Kurasa lidahku sudah mati gaya. Sama sekali tak mampu bergerak untuk
merangkaikan sepatah kata. Dan
pada akhirnya, aku hanya mampu terdiam, dan akan selalu terdiam. Menikmati
sejuta sensasi yang disuguhkan kekasih pujaanku. Meskipun ingatannya tentangku sedang
tak tergambar jelas dalam memorinya, aku tidak pernah takut akan membuatnya
berpaling. Karena janji semuku sudah kutanam baik-baik dalam hati, bahwa aku
akan selalu disampingnya.
Tiba-tiba sebongkah kekuatan itu menyeruak keluar.
Mengalirkan energi luar biasa yang kutujukan hanya untuknya. Perlahan, bisa
kurasakan jari-jemariku berjalan kearahnya. Mencoba membalas rengkuhan
hangatnya. Aku mendekapnya. Erat, begitu erat. Hingga bisa kurasakan daya
energi darinya mengalir kedarahku secara luar biasa. Terus kupejamkan mataku
disana, membiarkan kehangatan ini terus mengaliri bilik-bilik raga dinginku.
Anganku mulai melaju. Berlari-lari bersama sensasinya. Kutemui lembah kehidupan
berbeda disana. Lembah kehidupan yang mampu menenangkan jiwa getirku. Aku
semakin mendekapnya erat. Mencoba mengajaknya untuk merasakan sensasi lembah kerajaanku.
Perlahan, kurasakan rengkuhannya merenggang. Bisa kurasakan helaan ritme nafas
lembutnya. Aku tersenyum kecil, menyambut lembut siluet bulan sabitnya. Kulawan
lurus arah pandangannya. Seakan membisikkannya akan janji semuku, bahwa
bersamaku, ia akan baik-baik saja.
Ia kembali mendekapku. Dan aku menyambut rengkuhannya.
Bola mataku berputar, mengikuti alur kumbang yang memainkan sayap-sayapnya. Aku
terus mengikuti alur permainannya. Ia masih tetap dalam langkahnya, tidak bisa
terbang. Tanpa sayap, kesempurnaan kumbang itu hanya akan menjadi nama. Dan
keindahan dari fungsi kumbang itu sendiri hanya akan tertinggal menjadi sebuah
elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang melahirkan sebuah
kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Janji semu itu sudah kupatri,
bahwa aku akan menyempurnakan hidupnya.
Masih bisa kurasakan rengkuhannya. Dan sudut bibirku
masih terus mengembang karenanya. Perlahan mulai kurasakan rengkuhan itu
merenggang. Kutemukan korneanya menyambut lembut biasan wajahku. Kutemui bibir
mungilnya terbuka, ia berbisik pelan.
“Aku sangat mencintaimu, Dewangga Putra..”
Kurasakan dentuman hebat menghantam tepat pada ulu
hatiku. Seperti
ada lubang tusukan disana, perih. Benar-benar perih. Aku ingin merintih, namun
tak mampu. Siluet bulan sabitnya terlalu menggoyahkan dinding-dinding keegoanku.
Aku tersenyum kecil, mencoba menyambut siluet bulan sabitnya.
Ia
kekasihku. Terhitung sejak tiga tahun yang lalu. Kala tahun kedua perjalanan kisah
kami, ingatannya mulai melemah. Depresi yang ia derita setahun sebelumnya tiba-tiba
menghasilkan efek yang mengguncang dengan hebat fungsi otaknya, membuat
memorinya terhapus secara perlahan. Dan akan terhenti pada titik memori yang
berubah-ubah. Secara kedokteran, gejala tersebut terjadi karena efek penyakit
otak, Alzeimer. Efek lain dari penyakit ini adalah terjadinya delusi,
yaitu khayalan yang dianggap benar-benar terjadi secara nyata oleh penderita.
Dan saat ini, memorinya sedang berada pada titik dimana depresinya berawal.
Memori kala kisah cintanya harus terhenti dengan kekasihnya yang kini sudah
tertidur lelap. Sedangkan delusinya, sedang membangun kisah cinta bersama
kekasihnya yang masih terajut apik didalam imajinasinya. Dan hari ini, adalah
hari dimana perjalanan cintanya dengan kekasihnya terdahulu menginjak tahun
keenam.
Aku
kembali tersenyum. Memandangnya begitu lekat, kemudian merengkuh raganya pelan
kearah dekapanku. Memorinya mungkin akan terus terhapus, namun keyakikanku
sudah mengakar, bahwa rasanya untukku akan selalu semu. Biarlah ia memandang
dunia dengan kedua bola matanya, aku akan membebaskannya untuk berlari dengan
delusinya. Akan selalu kujaga siluet bulan sabit itu, agar tetap berwarna kilat
sinar bola matanya. Dan akan selalu kuberdiri disampingnya, menyempurnakan
puing-puing delusinya dan menjadikannya sebuah labirin kepastian.
Aku masih terus tersenyum. Kali ini bibir tipisku
terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku pun mencintaimu lebih dari kau mencintai kekasihmu, Afika Renanta” Aku mengecup keningnya
perlahan,
“ Dan kekasihmu saat ini adalah aku, Rangga Pradipta”,
lanjutku. Dalam hati, tentunya
*****