"Senja dalam Epilog"
Oleh: Aini Syarifah
Prolog
Betapa jauhnya
lilin kecil itu memancarkan berkas cahayanya. Jadi pancarkanlah perbuatan baik
didunia yang melelahkan ini.
-William
Shakespeare
Orang bilang,
kehidupan erat kaitannya dengan takdir. Seperti fajar bersama senja, kutub
utara bersama kutub selatan, atau prolog bersama epilog. Mereka adalah satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti sebuah paket tunggal yang tidak bisa
diambil tanpa sebuah angka genap. Jika Tuhan memberikan kita sebuah kehidupan,
mengapa kita ditakdirkan untuk berakhir pada sebuah kematian?
*****
-Deva
Hari
ini terhitung hari ke 92 bersamanya, bersama sesesok gadis yang biasa kupanggil
Alina. Seperti biasa, ia selalu datang ke kamarku saat jarum jam berhenti tepat
pada angka tujuh lebih lima belas menit. Angka dimana jadwal pemeriksaan
paginya telah berakhir. Maka, kala Dokter mencoba memutar kenop kamar yang
berada tepat didepan kamarku, aku akan segera tersenyum. Menanti sesosok gadis bersama selang infuse
yang selalu ia giring kemana-mana.
Kali
ini, ia tidak hanya membawa selang infuse. Sebuah buku bersampul putih
gading berada tepat ditangan kirinya. Ia tersenyum riang, mengambil posisi
tepat diatas ranjanganku, membantuku duduk senyaman mungkin, lalu membuka buku
dan mulai membacanya.
“Ketakutan
tumbuh dari hal-hal yang kita pikirkan, lalu tinggal dalam pikiran kita---”
Kening
gadis itu mengeryit, ia berhenti membaca sederetan kalimat Barbara Garrison
yang bahkan belum selesai ---menurutku,
karena ia membaca dengan menggantung--- dan beralih menatapku. Mengirimkan signal
‘apa maksudnya’ lewat kedua bola mata sayunya. Aku terkekeh, mencubit pipinya
yang kini terlihat semakin tirus, gemas.
“Apakah
kau pernah merasa ketakutan?”
Intonasinya
melemah, nyaris tak terdengar. Ia menutup perlahan buku itu dan beralih
menatapku. Aku tersenyum simpul membalasnya, lalu ikut larut dalam diam. Aku
tahu, ia sedang ketakutan. Tatapan itu, aku mengenalnya. Tatapan yang sama
seperti tiga bulan yang lalu, masa dimana sebuah kesimpulan tentang Metastase
Poorly Differenteated Adeno Carcinoma pertama kali mem-vonisnya.
“Tidak.”
Tak
ada reaksi, bibir mungilnya terkunci.
“Termasuk
mati?”
Aku
terkekeh, lalu mengangguk.
“Kenapa?”
“Karena
aku tidak pernah memikirkannya, tidak pernah mengizinkan pemikiran seperti itu untuk
tinggal didalam benakku.”
Pipinya
mengembung, ia mendengus kesal, “Aku serius.”
“Aku
juga”
“Kau
mengutip kalimat Barbara Garrison, tak ada bedanya. Aku ingin penjelasan
yang lebih.” Gerutunya bertubi-tubi, aku kembali terkekeh.
“Kau pernah bermain monopoli?”
“Aku
bertanya tentang kematian bukan permainan.” Ia semakin kesal, tidak sabar.
“Jawab
saja.”
Ia
terdiam sesaat, mencoba menerawang puing-puing memorinya, “Pernah,” ia beralih
lagi menatapku, “Memangnya kenapa?”
“Kau tahu alur permainannya?”
Ia
mengangguk.
“Tau
aturan yang harus dilakukan saat terhenti digaris finish?”
Ia
kembali mengeryit. Ingin sekali berontak, tapi urung. Mencoba mengikuti alur
penjelasanku, “Permainannya selesai.”
“Nah,
kau tau, bukan?”
Ia
mengeryit, “Lantas?”
“Bagaimana
caranya untuk tiba pada garis finish?” Ia semakin mengeryit, geram. Aku
tersenyum, “Jawab saja”
“Mengocok
dadu, lalu saat dadu tersebut memunculkan sebuah titik yang menyatakan jumlah
angka, kita melaju mengikuti perintahnya. Terhenti tepat disaat hitungan angka
dadu habis. Lalu diam menunggu giliran bermain, mengocok lagi, begitu
seterusnya hingga terhenti pada garis finish.”
“Apakah untuk sampai pada garis finish
hanya membutuhkan sebuah jumlah angka dadu yang keluar dan tepat terhenti pada
garis finish? Bagaimana jika garis finish itu terlewat? Bukankah
tidak semua jumlah angka yang muncul bisa tepat terhenti pada garis finish?”
“Tidak,
bisa saja kau mendapat kartu Kesempatan yang berisi perintah untuk maju
sampai garis finish. Atau mungkin, kau mendapat kartu Dana Umum
yang berisi perintah mundur beberapa petak yang bertepatan pada garis finish.
Siapa yang tau?”
“Lantas,
apakah setiap pemain tiba pada garis finish secara bersamaan?”
Ia
kembali mengeryit, tapi urung berontak, “Entahlah. Tergantung dadunya, siapa
yang tau jumlah angka yang muncul pada saat permainan?”
“Okay,
Binggo! Pemahanamu baik sekali, Alina.”
Aku
mengusap kepalanya sedangkan ia mendengus kesal, geram.
“Berhentilah
bertele-tele. Aku bukan filsafat, Deva. Bisakah kau mengartikannya dalam makna
denotasi?”
Aku
terkekeh, gemas. Kucubit pipi tirusnya, “Pernahkah kau berfikir tentang
kehidupan?”
“Okay,
stop. Aku pergi.” Ia mencoba beranjak, aku tersenyum simpul.
“Jika kehidupan adalah sebuah monopoli, maka tuhan adalah
sang dadu, sedangkan angka yang muncul adalah takdir. Ketika kita melemparnya, kita
menemukan sebuah clue. Melangkah atas alurnya. Dan boom! Dunia
fantasi sedang dimulai. Berawal dari sebuah garis start, yang akan
terhenti lesu pada kolom pajak, tersenyum sumringah pada sesi bonus gaji,
mendengus kesal pada pusaran denda, lalu tertawa girang diatas arena bebas
parkir dan kemudian kembali menjerit pada sel tahanan. Begitu
seterusnya hingga berakhir pada garis finish. Jika start adalah prolog
kehidupan, maka garis finish adalah babak kematian. Babak dimana takdir
telah tercipta sebagai kepastian dari sebuah epilog. Jika penyakit adalah salah satu agenda dalam rangkaian
daftar takdir, belum dapat dipastikan list selanjutnya adalah kematian.
Seperti yang sudah kau katakan tadi, siapa yang tahu angka berapa yang muncul
dibalik sebuah kuasa dadu? Semua mahluk Tuhan pada akhirnya akan menemui sebuah
epilog, Alina. Tanpa kecuali. Hanya saja, setiap mahluk memiliki masa
tersendiri menuju garis finishnya. Semua hanya butuh waktu. Apapun jembatan
menuju epilog, itulah angka yang telah ditentukan oleh sang dadu. Sama
seperti yang kau katakana tadi, bukan? Bahwa bisa saja kau mendapat kartu Kesempatan
yang berisi perintah untuk maju sampai garis finish. Atau mungkin, kau
mendapat kartu Dana Umum yang berisi perintah mundur beberapa petak yang
bertepatan pada garis finish. Tidak ada yang perlu kau takutkan, Alina. Semua ada masanya.“
Seketika ia berbalik, duduk diatas ranjang, mendekapku.
Dapat kurasakan bahunya tergoncang, semakin lama semakin hebat. Diiringi dengan
isakannya yang kian lama kian kencang. Aku mencoba membalas dekapnya, membelai
rambutnya yang semakin lama semakin menipis. Membebaskannya sesaat untuk
berbaur dengan rasa takut, menyisihkan sedikit ruang untuk melepas segala
bebannya. Perlahan, bisa kurasakan guncangannya mereda, kurengkuh pelan wajah
sendunya dengan kedua tanganku. Mengusap bulir-bulir air matanya yang masih
tersisa. Membiaskan sebuah senyuman dimatanya, dan kembali mendekapnya,
“Jangan takut lagi, semuanya akan baik-baik saja“
*****
-Alina
Hari
ini tepat hari ke 100 aku mengidap Colorectal Cancer. Penyakit yang
mampu membuatku mual setengah mati karena kemoterapi, sakit tiada tara karena
berbagai macam tusukan suntikan, perih tak terhingga karena kanker yang terus
menjalar. Sampai detik ini, tidak ada yang berbeda, semua sama. Rasa yang
berkutat ini, kian lama kian terasa hambar karena siklusnya begitu semu. Semua
rutinitas yang kulakukan disini begitu memuakkan, bosan. Aku selalu ingin lari,
kemanapun. Asalkan jangan disini. Tapi kalau difikir-fikir, benar juga kata
Deva, percuma. Bahkan, lebih cenderung ke rugi. Terpaksa aku mendengus kesal, mengurungkan
niat.
Deva.
Aku mengenalnya sekitar tiga bulan yang lalu, karena penyakit yang sama, dokter
yang sama, dan rumah sakit yang sama. Bedanya, dia laki-laki, satu tahun lebih
tua dariku, dan tiga stadium lebih tinggi diatasku. Aku beralih menatap jam
dinding yang tertera tepat diseberang ranjangku, jam tujuh tepat. Tapi tidak
juga ada tanda-tanda kedatangan Dokter Tjahyo ---Dokter yang menanganiku dan Deva---,
maka kuputuskan untuk beranjak saja. Aku tidak suka menunggu.
Langkahku
terhenti tepat diambang pintu. Tiba-tiba saja aku seperti mati rasa, kaku. Bola
mataku enggan mengempis, sementara bibirku enggan terkatub. Aku seperti kehabisan oksigen, ingin bernafas tapi tak
mampu, ingin menghela tapi tak mau. Aku nyeri, kelu, bingung dan ah entahlah,
bahkan aku tidak mampu lagi menjelaskan secara detail reaksi seperti apa yang
sedang bergumul didalam otakku. Aroma cologne
maskulin itu berhembus, diiringi dengan suara roda ranjang yang berlalu.
Kutemui sosok itu tertutup selimut, hilang digantikan sang fajar yang mulai menyingsing.
Aku bersimpuh lemas menyadarinya.
Tepat
ditengah senja, sosok laki-laki itu terlelap ditengah tumpukan bunga Daisy.
Semalam, keadaannya memburuk. Kanker itu sudah benar-benar mematikan fungsi
organ pencernaannya. Menyatukan seluruh jenis usunya, membuatnya mengering, dan
meninggalkan seberkas warna biru disekujur sisinya. Aku tidak menyangka, akan
secepat ini epilognya tiba. Ia terlihat baik-baik saja saat semalam aku
bertandang ke kamarnya. Dia masih terlihat sama saja, ---terlepas dari tubuhnya
yang semakin kurus, matanya yang semakin sayu, dan parasnya yang semakin
pasi---. Masih terlukis jelas didalam memoriku, senyum terakhirnya yang
terlihat tak ada beda ---senyum lebar, tulus, dan menenangkan---. Bersama senja
di pertengahan November, pintu epilognya terkatub. Kini, satu pemain telah tiba
digaris finish. Menyambut sebuah epilog untuk mengakhiri permainnya.
*****
30
hari yang lalu…
“Apakah
kau percaya pada keajaiban?”
Laki-laki
itu mengangguk, “Pernah dengar lagu ‘When You Believe’ Whitney Houston feat
Mariah Carey?”
Sang
gadis menggeleng, “Aku tidak begitu suka mendengarkan musik.” Kilahnya.
Laki-laki
itu mengangguk kecil, “Kenapa?”
“Tidak
tau, hanya tidak suka.”
“Sayang
sekali, lagunya bagus”
*****
Dua
hari yang lalu..
“Pernah
berfikir mengapa Tuhan menciptakan sebuah kehidupan jika pada akhirnya akan
berakhir pada kematian?”
Laki-laki
itu mencoba menutup buku tebalnya, kemudian menyodorkannya pada gadis itu.
“Jika
kutitipkan buku ini padamu, apakah kau akan marah jika aku mengambilnya besok?”
Gadis
berbibir mungil itu mengeryit, “Kenapa harus marah?”
Laki-laki
itu terkekeh, “Kau masih saja menggemaskan,” ditariknya hidung mancung gadis
itu, sang gadis mengeryit.
“Sudahlah,
jangan bertele-tele, Deva.”
Laki-laki
itu kembali tersenyum, ia kembali menatap buku tebal yang berada diatas
pangkuan gadis itu.
“Hidup ini, hidupmu. Tapi bukan milikmu, Alina. Sama
seperti buku ini. Untuk saat ini buku ini bukumu, tapi bukan milikmu. Jika aku
ingin mengambilnya besok, kau bisa apa?” Laki-laki itu terdiam sejenak. Lalu
beralih menatap gadis yang duduk diam diatas ranjangnya.
“ Sama seperti yang kau ucapkan tadi, ‘kenapa harus
marah?’”
*****
Epilog
Senja ke
230 mulai turun, melukis
warna dengan jingganya. Bersamaan dengan langkahnya, gerimis ikut bernyanyi.
Melantunkan melodi-melodi alam dengan riangnya. Disudut kamar Anggrek bernomor 203,
sesosok gadis berdiri tepat didepan jendela, membuat
tubuh mungilnya bertempa dengan senja. Senja saat ini, entah sudah terhitung
senja keberapa tanpa kehadiran sosok laki-laki itu di dalam arena monopoli. Perlahan,
ia mencoba membelai sendiri helai rambutnya yang nyaris menghilang seluruhnya,
mendelik dengan seksama raga mungilnya yang kini sudah semakin tak berisi, dan
berakhir dengan menatap siluetnya yang remang-remang terbias didasar jendela.
Ia letakkan jari-jemarinya disana, mencoba menyentuh siluet semu itu yang
bahkan nyais tak terlihat. Ia beralih menatap ranjang, kosong. Hanya
tertinggal sebuah buku tebal diatas meja. Ia beralih lagi menatap
sebuah MP4
yang tergeletak tak jauh dari buku. Entah sudah berapa
lama ia membiarkan benda itu berdiam di laci kamarnya, dan ditengah senja kali
ini, ia mencoba merengkuhnya dan
membawanya kemari. Perlahan, dipasangnya headphone
pada kedua telinganya. Dengan sedikit keraguan, ditekannya perlahan sebuah tombol ‘play’ yang otomatis memutar playlist sang empunya. Dengan
sendirinya, matanya terpejam bersama simfoni yang mulai mengalun.
Many night we prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hope for song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there’s much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could
In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer bird
Too swiftly flown away
Yet now I’m standing here
My hearts so full, I can’t explain
Seeking faith and speaking words
I never thought I’d say
They don’t always happen when you ask
And it’s easy to give in to your fears
But when you’re blinded by your pain
Can’t see the way, get through the rain
A small but still, resilient voice
Says hope is very near
There can be miracles,
When you believe
Though hope is frail
It’s hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
You will when you believe
---‘When You Believe’ Whitney Houston feat Mariah
Carey---