Apakah
kau mensyukuri hidupmu?
Apakah
kau ingin menukar hidupmu dengan yang lain?
Atau
apakah kau ingin mengakhiri hidupmu saja?
You know my name, not my story
Pernah mendengar ungkapan itu?
****
Entah
apa yang menuntunku untuk mau membicarakannya. Yang aku tahu, malam ini, aku
sedang ingin bergumul dengannya. Dengan potongan-potongan memori yang sudah
lama tak kusentuh. Mungkin sudah usang.
Sesekali
kubiarkan angin malam berhembus. Melayang-layang menyempurnakan rasi bintang.
Membayangkan bagaimana fajar seharusnya terbit. Membiarkan sinarnya terpecah
sempurna sesempurna kehidupanku, dulu.
Jika
dia masih ada, apakah aku masih turun didepan gerbang sekolah dari sebuah sedan
hitam?
Jika
dia masih ada, apakah aku masih bisa bangga dengan statusnya?
Jika
dia masih ada, apakah setiap hari mingguku masih terisi liburan?
Jika
dia masih ada, apakah aku masih bisa mengajak siapa saja untuk berlibur
bersamaku?
Jika
dia masih ada, apakah aku masih bisa memberikan apa yang mereka mau?
Jika
dia masih ada, apakah mereka masih menganggapku ada?
Jika
dia masih ada, apakah mereka berhenti menganggapku tidak mampu?
Jika
dia masih ada, apakah air mataku tak semurah ini?
Jika
dia masih ada, apakah rasa sakit ini akan berkurang?
Dan
jika dia masih ada, apakah hidupku akan sama seperti ini?
Ayah,
taukah engkau? Sekarang semuanya berbeda. Benar-benar berbeda. Bagaimana
mungkin hidupku terlalu bergantung padamu? Disaat senja menenggelamkanmu, fajar
menjadi tak seindah dulu. Apakah hembusan nafasmu sebegitunya berharga bagi
sebuah pengakuan? Mengapa setelah senja itu berlabuh mereka menjadi berbeda?
Ayah, seberapa bedanya aku kini dan dulu? Seberapa berpengaruhnya aku tanpamu
dan bersamamu? Apakah status mampu memburamkan pancaran fajar?
Ayah,
tahukah engkau seberapa lama aku bermetamorfosa?
Untuk
memahami arti kepergianmu ternyata tak semudah menghela nafas. Ayah, meskipun
kuhabiskan sisa waktuku untuk memilinnya, tetap saja kutemukan anganku berhenti
pada pintu pengandaian. Ia selalu menuntunku membangun ilusi. Memperkokohnya
menjadi delusi. Kemudian berakhir dengan menyalah-nyalahkan memori. Ayah,
apakah ini salah kanker? Apakah ini salah investasi? Apakah ini salah Ayah?
Apakah ini salah takdir? Dan sisa-sisa senyumku telah habis dengan merangkai
pertanyaan demi pertanyaan. Apakah menurutmu aku terlalu banyak menggerutu,
Ayah?
Ayah,
tahukah engkau seberapa jauh aku membangun jarak?
Ternyata
dunia itu begitu jahat, Ayah. Bagaimana bisa mempertahankan sebuah pengakuan begitu
menyakitkan? Mengapa strata begitu diagungkan? Ayah, tahukah engkau? Sejak
senja kemarin berlabuh, fajar tak seindah dulu. Kini aku terombang-ambing
diantaranya. Antara fajar dan senja. Jika pancaran fajar itu tak secerah dulu apakah
itu salahku? Ayah, menurutmu apakah mereka mencoba membatasi langkahku atau aku
yang terlalu jauh membangun jarak diantara mereka?
Ayah,
I need you, so much. Bagaimana ini?
Tertulis,
pada bulan keempat tahun 2013