Saturday, April 28, 2012

Labirin Kesempurnaan


“Labirin Kesempurnaan”
Oleh: Aini Syarifah

K
esempurnaan dimataku, sang sayap kumbang…
Sesungguhnya aku tidak suka menunggu. Benar-benar tidak suka. Bagiku, menunggu adalah hal yang paling memuakkan. Bagaimana tidak? Disaat menunggu, kau hanya bisa terdiam mengikuti alur detik, menyapu pandangan tanpa jeda, dan jika perjalanan detik itu sudah mulai merentet sekian lama, akan mulai muncullah sederet kata-kata tanpa makna. Yang intinya, menunggu itu membuat J-E-N-G-A-H. Benar, bukan?
Tapi, kali ini berbeda. Entah mengapa aku menikmati situasi ini. Seolah-olah sensasi yang disajikan mampu membuatku bertahan untuk tidak jengah. Semilir angin yang merayu helai-helai rambutku, para pejalan kaki yang hilir mudik disampingku, kebulan asap yang mengepul dari secangkir hangat moccachinoku, atau..ah semuanya. Sungguh aku menikmati semua sensasinya. Bahkan aku bisa merasakan sudut-sudut bibirku ini terus mengembang, membentuk sudut setengah lingkaran persis seperti siluet bulan sabit.
Mungkin, kali ini situasinya terlihat berbeda karena aku sedang gembira. Kau tau?  Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku. Ah tidak, maksudku, bagiku dan kekasihku. Ya, hari ini genap tahun ke enam kami berpacaran. Aku tidak menyangka, sudah sejauh ini kami melangkah. Aku selalu berharap, ia menjadi pemegang tahta kerajaanku yang pertama sekaligus yang terakhir. Ditengah usiaku yang sudah mulai beranjak pada angka 20 -..ah tidak, kurasa 21. Ah..bukan-bukan, mungkin 22. Atau bahkan..23, ya? Ah, entahlah. Yang kuingat, antara kedelapan digit angka, dengan kisaran keempat pasangan angka tersebut. Ya, kurasa begitu-, kurasa sudah waktunya untukku memikirkan pembangunan kerajaan baruku. Bagaimana menurutmu? Apakah sudah saatnya untukku memikirkan rancangan gaunku kelak? Atau membayangkan dekorasi gedung resepsi kami nanti? Atau mulai memilih tanggal untuk pernikahan kami esok? Em, atau bahkan mulai mencari informasi tentang Event Organizer terkemuka? Oh ya, bagaimana menurutmu tentang rancangan undangkan pernikahan kami kelak? Apakah aku harus turun tangan langsung untung merancang setiap detail disainnya? Dan bagaimana tentang foto prawedding kami kelak? Apakah aku harus….Oh yatuhan, kurasa alur imajinasiku sudah mulai merong-rong kese     gala penjuru. Membuat bibirku menari nari kecil hingga berakhir pada siluet bulan sabit disudutnya.
Aku segera beralih meraih sebuah cermin yang kuletakkan persis didalam tas pradaku, dan seketika kutemukan biasan wajahku dalam benda itu. Kutemui wajahku yang sedang terlukis siluet bulan sabit disalah satu sudutnya. Aku kembali memandangi cermin itu. Kali ini kutemui siluet bulan sabit itu sedikit pudar, aku menggigit pelan bibir bawahku, keningku sedikit berkerut. Oh tidak, aku terlihat berbeda. Seperti kutemui dua buah tomat yang menempel tepat pada kedua pipi tirusku. Aku tertawa kecil, ya wajahku memerah. Perlahan aku menutup cermin itu tepat disamping cangkir berisi moccachino. Kedua tanganku mulai berjalan, lalu berpangku dan berhenti tepat diujung dagu mungilku, sementara bibirku kembali membentuk sudut setengah lingkaran persis seperti bulan sabit. Kedua bola mataku berbinar, berputar-putar hingga kemudian terhenti dan terdiam.
 Aku kembali tersenyum, kutemui sosok yang kunanti disana. Ia berdiri terdiam, menatapku. Kuikuti arah matanya, kulawan lurus arah pandangannya. Kali ini kedua mata kami bertemu. Aku tersenyum kecil, terus terdiam. Membiarkan korneaku menjelajahi paras tampannya. Paras tampan yang tak pernah kujengahi.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Ia menghambur kearahku. Aku terus menatap paras tampannya. Keningnya sedikit berkerut.
“Menunggumu,”Aku tersenyum kecil. Kulihat ia menghela nafas panjang, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” Lanjutku seraya berdiri. Ia terlihat memutar otaknya, kemudian tersenyum pelan.
“Ya, tentu saja”
Aku ikut tersenyum seraya mendekap raga hangatnya. Ia masih tersenyum, membiarkan ragaku menyelimuti tubuhnya. Kupejamkan mataku perlahan, membiarkan seluruh ragaku merasakan sensasi yang tak pernah jengah untuk kunikmati. Aroma tubuhnya, hangat raganya, hingga detakan selaras irama jantungnya. Sungguh, aku benar-benar menikmatinya. Sementara aku menikmati sensasinya, sang pemilik sensasi itu hanya terdiam, dan -hanya-akan-selalu-terdiam-. Namun, meskipun begitu aku tidak pernah takut akan membuatnya berpaling. Karena didalam rasaku, telah tersimpan jelas sebongkah kepercayaan akan rasanya. Sugesti semu yang sudah kupatenkan sejak dulu, bahwa ia, akan selalu bersamaku.
Kali ini mulai bisa kurasakan sentuhan jemarinya menyambut rengkuhanku. Sudut bibirku seketika mengembang, terukir kembali siluet bulan sabit disana. Perlahan kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya, dibuat kuterbuai lagi oleh sensasinya. Aku kembali terdiam, membiarkan sensasinya menggerogoti labirin paru-paruku, merayap pelan pada dinding-dinding jantungku, hingga akhirnya meranggas habis semua oksigenku. Lumpuh. Benar-benar terasa lumpuh. Ledakan sensasinya memang luar biasa. Ledakan yang mampu mendoktrin fungsi alam bawah sadarku. Bersamanya, aku seperti menjelajahi lembah dunia yang berbeda. Lembah dunia yang bertabur butiran-butiran kebahagiaan. Aku kembali tersenyum, membiarkan nafasku terhela panjang. Kubuka mataku perlahan, dan kutemui senyumnya menyambut tatapanku. Aku ikut tersenyum. Sugesti semuku mulai mengalun, bahwa bersamanya, semua akan baik-baik saja.
Bola mataku berbinar. Seekor kupu-kupu hinggap diatas keindahan. Mengajakku menikmati keelokkan mawar merah yang bertengger dijajaran pot-pot kecil disudut kedai ini. Aku terus menikmati keelokan bunga itu, masih tetap dalam dekapan kekasihku.
Bunga itu memang sempurna, kupu-kupu pun mengakuinya. Tanpa kelopak, kesempurnaan itu hanya akan menjadi nama. Dan keindahan itu akan tertinggal menjadi sebuah elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang melahirkan sebuah kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Sugesti semu itu sudah tertanam, bahwa hadirnya, adalah kesempurnaanku.
Masih bisa kurasakan hangat dekapnya. Sudut bibirku semakin mengembang. Kulepas perlahan rengkuhanku, dan kubiarkan kornea ini menjelajahi parasku yang terbias dalam korneanya. Kutemui siluet bulan sabit dalam sudut bibirnya, paras tampannya kembali melumpuhkan dinding-dinding jantungku. Aku mulai tenggelam dalam kerajaannya, kembali terbuai kedalam lembah dunianya. Bibir mungilku terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku mencintaimu,  Dewangga Putra..”
*****
Kesempurnaan dimataku, sang Kelopak Bunga…
Aku benar-benar engah. Paru-paruku nyaris mengempis secara permanen. Aku sudah nyaris gila, sebelum kutemui sosoknya terpaku didepanku. Seketika kurasakan paru-paruku sudah mulai bekerja secara normal, kala kutemukan senyumnya dalam jaringan korneaku. Aku segera menghambur kearahnya. Kuharap ia baik-baik saja, dan membuat keadaan disekitarnya tetap baik-baik saja. Karena aku takut, jika memorinya terhenti pada titik yang salah, dan delusinya menjalar pada waktu yang tak tepat.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Keningku sedikit berkerut, namun ditempa senyumnya yang mampu membungkus dengan apik lipatan kerutku.
“Menunggumu,” Ia masih tersenyum, dengan kilatan binar matanya yang berputar-putar, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” lanjutnya seraya berdiri. Satu tungkai kakinya ia buat berdiri, kemudian diketuk-ketuknya pelan pada dinding lantai kedai bergaya khas Indonesia ini. Sementara kedua tangannya terlihat menggeliat pelan secara bergantian, diikuti jari-jemarinya yang menari-nari kecil ditengah tautan genggamannya. Ia masih tersenyum tersipu menanti jawaban.
Tak kusadari bibirku mengikuti langkahnya. Tersenyum kecil seirama dengan nadanya. Kuputar bola mataku perlahan, tidak butuh waktu lama –karena memang aku sudah menduga memorinya akan terhenti pada titik ini- aku mengerti benar apa yang ia maksud. Dan oleh karena itu, aku nyaris mati kepanikan karenanya. Karena kepergiannya secara tiba-tiba. Dan disaat kusadari sosoknya tak ada dalam kamar bercat putih itu, kutemui kalender bertandakan hari istimewa untuknya. Dan untungnya, tertuliskan tempat istimewa disalah satu sudutnya.
“Ya, tentu saja” Aku tersenyum untuknya. Kutemui kedua bola matanya kembali berbinar. Kali ini bisa kurasakan benar aroma shampo nya. Ia mendekapku.
Bisa kurasakan jelas gerakan pelan pipi tirusnya pada dadaku. Membuat jantungku berdesir-desir seirama. Kupejamkan kedua mataku perlahan. Membiarkan raganya menyelimuti dinding-dinding tulang dinginku. Seketika kurasakan kehangatan itu mengalir dan menjalar keseluruh tubuhku. Terus berlanjut hingga terhenti tepat pada jantungku. Dan pada tempat itu, kehangatan itu berubah menjadi pompa yang membuat pacuan jantungku kian kencang. Menciptakan ritme yang tak bercontrol. Aku sudah gila, jantung ini benar-benar tak mau diam. Pacuannya memang dasyat, hingga mampu melumpuhkan sendi-sendi anggota tubuhku. Aku dibuat kaku olehnya.
Semakin kurasakan sensasi rengkuhannya, semakin tak mampu aku untuk menyuarakan sesuatu. Kurasa lidahku sudah mati gaya. Sama sekali tak mampu bergerak untuk merangkaikan sepatah kata. Dan pada akhirnya, aku hanya mampu terdiam, dan akan selalu terdiam. Menikmati sejuta sensasi yang disuguhkan kekasih pujaanku. Meskipun ingatannya tentangku sedang tak tergambar jelas dalam memorinya, aku tidak pernah takut akan membuatnya berpaling. Karena janji semuku sudah kutanam baik-baik dalam hati, bahwa aku akan selalu disampingnya.
Tiba-tiba sebongkah kekuatan itu menyeruak keluar. Mengalirkan energi luar biasa yang kutujukan hanya untuknya. Perlahan, bisa kurasakan jari-jemariku berjalan kearahnya. Mencoba membalas rengkuhan hangatnya. Aku mendekapnya. Erat, begitu erat. Hingga bisa kurasakan daya energi darinya mengalir kedarahku secara luar biasa. Terus kupejamkan mataku disana, membiarkan kehangatan ini terus mengaliri bilik-bilik raga dinginku. Anganku mulai melaju. Berlari-lari bersama sensasinya. Kutemui lembah kehidupan berbeda disana. Lembah kehidupan yang mampu menenangkan jiwa getirku. Aku semakin mendekapnya erat. Mencoba mengajaknya untuk merasakan sensasi lembah kerajaanku. Perlahan, kurasakan rengkuhannya merenggang. Bisa kurasakan helaan ritme nafas lembutnya. Aku tersenyum kecil, menyambut lembut siluet bulan sabitnya. Kulawan lurus arah pandangannya. Seakan membisikkannya akan janji semuku, bahwa bersamaku, ia akan baik-baik saja.
Ia kembali mendekapku. Dan aku menyambut rengkuhannya. Bola mataku berputar, mengikuti alur kumbang yang memainkan sayap-sayapnya. Aku terus mengikuti alur permainannya. Ia masih tetap dalam langkahnya, tidak bisa terbang. Tanpa sayap, kesempurnaan kumbang itu hanya akan menjadi nama. Dan keindahan dari fungsi kumbang itu sendiri hanya akan tertinggal menjadi sebuah elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang melahirkan sebuah kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Janji semu itu sudah kupatri, bahwa aku akan menyempurnakan hidupnya.
Masih bisa kurasakan rengkuhannya. Dan sudut bibirku masih terus mengembang karenanya. Perlahan mulai kurasakan rengkuhan itu merenggang. Kutemukan korneanya menyambut lembut biasan wajahku. Kutemui bibir mungilnya terbuka, ia berbisik pelan.
“Aku sangat mencintaimu, Dewangga Putra..”
Kurasakan dentuman hebat menghantam tepat pada ulu hatiku. Seperti ada lubang tusukan disana, perih. Benar-benar perih. Aku ingin merintih, namun tak mampu. Siluet bulan sabitnya terlalu menggoyahkan dinding-dinding keegoanku. Aku tersenyum kecil, mencoba menyambut siluet bulan sabitnya.
Ia kekasihku. Terhitung sejak tiga tahun yang lalu. Kala tahun kedua perjalanan kisah kami, ingatannya mulai melemah. Depresi yang ia derita setahun sebelumnya tiba-tiba menghasilkan efek yang mengguncang dengan hebat fungsi otaknya, membuat memorinya terhapus secara perlahan. Dan akan terhenti pada titik memori yang berubah-ubah. Secara kedokteran, gejala tersebut terjadi karena efek penyakit otak, Alzeimer. Efek lain dari penyakit ini adalah terjadinya delusi, yaitu khayalan yang dianggap benar-benar terjadi secara nyata oleh penderita. Dan saat ini, memorinya sedang berada pada titik dimana depresinya berawal. Memori kala kisah cintanya harus terhenti dengan kekasihnya yang kini sudah tertidur lelap. Sedangkan delusinya, sedang membangun kisah cinta bersama kekasihnya yang masih terajut apik didalam imajinasinya. Dan hari ini, adalah hari dimana perjalanan cintanya dengan kekasihnya terdahulu menginjak tahun keenam.
Aku kembali tersenyum. Memandangnya begitu lekat, kemudian merengkuh raganya pelan kearah dekapanku. Memorinya mungkin akan terus terhapus, namun keyakikanku sudah mengakar, bahwa rasanya untukku akan selalu semu. Biarlah ia memandang dunia dengan kedua bola matanya, aku akan membebaskannya untuk berlari dengan delusinya. Akan selalu kujaga siluet bulan sabit itu, agar tetap berwarna kilat sinar bola matanya. Dan akan selalu kuberdiri disampingnya, menyempurnakan puing-puing delusinya dan menjadikannya sebuah labirin kepastian.
Aku masih terus tersenyum. Kali ini bibir tipisku terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku pun mencintaimu lebih dari kau mencintai kekasihmu,  Afika Renanta” Aku mengecup keningnya perlahan,
“ Dan kekasihmu saat ini adalah aku, Rangga Pradipta”, lanjutku. Dalam hati, tentunya
*****


No comments:

Post a Comment

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...