Saturday, September 17, 2016

Dear My Never-Ending Love





Dear my never-ending love,
Ketika pesan ini mulai kutulis, tiga puluh sembilan menit lagi umurmu 56 tahun, seharusnya.
Sesungguhnya, ketika kata seharusnya berhasil kutulis aku mulai bertanya, “apakah kata seharusnya patut ku pertanyakan?”
Maksudku, apakah umurmu ikut bertambah semenjak kau menghilang dibalik senja kala itu?
Sungguh, aku tidak tahu. Yang kutahu, saat ini, tiga puluh empat menit lagi, tepat 10 kali aku terjebak pada lingkar 17 September
Dear my never-ending love,
Kau tahu?
Betapa tanggal 17 September menjadi hari yang begitu sendu?
Terhitung ditahun ini pada tanggal yang sama, sudah 10 surat sendu kukirimkan,
untukmu.
Semua berisi bualan bahwa aku baik-baik saja tanpamu
Dear my never-ending love,
Kau percaya?
Aku tidak pernah baik-baik saja tanpamu, sekalipun ketika aku menulis surat pengakuan ini
Sejujurnya, aku lelah memikirkan apa yang harus kuberikan untukmu di hari-yang-“seharusnya” istimewa ini setiap tahunnya di sepuluh tahun belakangan ini
Kau tahu?
Hal ini seribu kali lebih menyiksa dibandingkan memikirkan kado terindah yang bisa kubelikan untukmu setiap tanggal ini belasan tahun yang lalu.
Astaga, betapa ungkapan belasan-tahun-yang-lalu terdengar begitu usang!
Dear my never-ending love,
Kau tahu?
Ada sebongkah rindu yang tertahan didalam sini
Begitu dalam, hingga aku tak mampu untuk merabanya
Dear my never-ending love,
Dua menit lagi, lingkar sendu itu akan terbuka lebar
Memutarkan rekaman indah memori belasan tahun lalu
Dear my never-ending love,
Sekarang sudah lewat dua menit hari istimewamu tiba
Apakah hari ini tetap menjadi istimewa meskipun kau telah hilang dibalik senja?
Ah, kau bahkan tidak pernah sekalipun menganggap hari ini istimewa
Ya, aku yang memilih untuk membuatnya terlihat berbeda
Dan aku sendiri yang tersiksa
Dear my never-ending love,
Sekarang, ketika kau baca suratku, aku sedang melewati angka 12.08
Tertanda pada pukul 12.08 WIB, kuakhiri surat sendu ini bersama ribuan rindu yang tak terhingga
Dear my never-ending love,
Selamat ulang tahun.
Aku merindukanmu, Pah.
Setengah mati.
Bagaimana ini?

Wednesday, August 31, 2016

People Change. Memories don't.




Apakah kau mensyukuri hidupmu?
Apakah kau ingin menukar hidupmu dengan yang lain?
Atau apakah kau ingin mengakhiri hidupmu saja?
You know my name, not my story
Pernah mendengar ungkapan itu?
****
Entah apa yang menuntunku untuk mau membicarakannya. Yang aku tahu, malam ini, aku sedang ingin bergumul dengannya. Dengan potongan-potongan memori yang sudah lama tak kusentuh. Mungkin sudah usang.
Sesekali kubiarkan angin malam berhembus. Melayang-layang menyempurnakan rasi bintang. Membayangkan bagaimana fajar seharusnya terbit. Membiarkan sinarnya terpecah sempurna sesempurna kehidupanku, dulu.
Jika dia masih ada, apakah aku masih turun didepan gerbang sekolah dari sebuah sedan hitam?
Jika dia masih ada, apakah aku masih bisa bangga dengan statusnya?
Jika dia masih ada, apakah setiap hari mingguku masih terisi liburan?
Jika dia masih ada, apakah aku masih bisa mengajak siapa saja untuk berlibur bersamaku?
Jika dia masih ada, apakah aku masih bisa memberikan apa yang mereka mau?
Jika dia masih ada, apakah mereka masih menganggapku ada?
Jika dia masih ada, apakah mereka berhenti menganggapku tidak mampu?
Jika dia masih ada, apakah air mataku tak semurah ini?
Jika dia masih ada, apakah rasa sakit ini akan berkurang?
Dan jika dia masih ada, apakah hidupku akan sama seperti ini?
Ayah, taukah engkau? Sekarang semuanya berbeda. Benar-benar berbeda. Bagaimana mungkin hidupku terlalu bergantung padamu? Disaat senja menenggelamkanmu, fajar menjadi tak seindah dulu. Apakah hembusan nafasmu sebegitunya berharga bagi sebuah pengakuan? Mengapa setelah senja itu berlabuh mereka menjadi berbeda? Ayah, seberapa bedanya aku kini dan dulu? Seberapa berpengaruhnya aku tanpamu dan bersamamu? Apakah status mampu memburamkan pancaran fajar?
Ayah, tahukah engkau seberapa lama aku bermetamorfosa?
Untuk memahami arti kepergianmu ternyata tak semudah menghela nafas. Ayah, meskipun kuhabiskan sisa waktuku untuk memilinnya, tetap saja kutemukan anganku berhenti pada pintu pengandaian. Ia selalu menuntunku membangun ilusi. Memperkokohnya menjadi delusi. Kemudian berakhir dengan menyalah-nyalahkan memori. Ayah, apakah ini salah kanker? Apakah ini salah investasi? Apakah ini salah Ayah? Apakah ini salah takdir? Dan sisa-sisa senyumku telah habis dengan merangkai pertanyaan demi pertanyaan. Apakah menurutmu aku terlalu banyak menggerutu, Ayah?
Ayah, tahukah engkau seberapa jauh aku membangun jarak?
Ternyata dunia itu begitu jahat, Ayah. Bagaimana bisa mempertahankan sebuah pengakuan begitu menyakitkan? Mengapa strata begitu diagungkan? Ayah, tahukah engkau? Sejak senja kemarin berlabuh, fajar tak seindah dulu. Kini aku terombang-ambing diantaranya. Antara fajar dan senja. Jika pancaran fajar itu tak secerah dulu apakah itu salahku? Ayah, menurutmu apakah mereka mencoba membatasi langkahku atau aku yang terlalu jauh membangun jarak diantara mereka?
Ayah, I need you, so much. Bagaimana ini?
Tertulis,
 pada bulan keempat tahun 2013

I'm Not OK, You Are Not OK, and That is OK





Semuanya terlihat panik. Secara tiba-tiba sosok laki-laki paruh baya itu terdiam. Nafasnya melemah satu per satu. Raganya membiru secara perlahan. Sesosok wanita disampingnya terlihat ketakutan, diguncangkannya raga suaminya, dibenarkannya tatanan oksigennya, hingga dicari-cari denyutan nadi suaminya. Nihil. Raga itu benar-benar terpisah dari rohnya.
Sesosok gadis belasan tahun tertuduk lemas, menangis, berteriak, terisak, berontak.
Papa masih ada ik..Papa masih ada..” Suara lemah itu terdengar menuntut. Diiringi isakan yang terbata-bata. Aku terbius, membisu. Kebingungan, atau lebih tepatnya kelimpungan. Kudekap erat raganya yang terhuyung, membebaskan segala memori yang sudah lama kupendam untuk membaur bersama detiknya. Kupandang lekat kedua matanya, ingin kusampaikan bahwa ini adalah yang terbaik, bahwa ini harus ia terima dan bahwa pada akhirnya cepat atau lambat, hal ini pasti akan terjadi. Tapi kerongkonganku tercekat. Lidahku benar-benar kaku. Rangkaian kata-kata itu hanya berputar dan meracau dalam otakku. Sekali lagi, aku hanya mampu mendekapnya, menggenggam erat jemarinya, membiarkan seluruh tangisnya luruh bersama rasa kehilangannya. Rasaku benar-benar tak karuan. Kupandang segala penjuru ruangan. Air mata dimana-mana. Kuraba pelan pori-pori pipiku, kering. Aku ini, sahabat macam apa ?
Papa masih ada ik..Papa masih ada..” Suara lemah itu kembali menusukku. Lidahku kelu. Kueratkan dekapanku, mendekat kearah telinganya.
Iya, Papamu masih ada mbak, masih ada, ada didalam hatimu.”
Dan isakkannya semakin menjadi, berbaur dengan deraiku yang mulai terjatuh. Bibirku bergetar, kerongkonganku tercekat. Menangis, aku menangis. Ya, kali ini aku benar-benar mengikutinya. Kalimat itu benar-benar mampu melemparku pada memori 8 tahun lalu secara utuh. Semuanya menjadi berkelebat, berputar-putar dan membaur bersama detiknya. Kudekap raganya lebih erat lagi, membiarkan rasanya meluruh dengan segala kenangannya. “Tenang mbak, kamu gak akan sendiri, ada aku, disini, bersamamu.”
Tertulis,
Pada ujung Ramadhan di tahun 2013.

Sunday, August 7, 2016

Kata orang, Menulis itu Merapikan Kenangan



Sekarang, ditempatku menulis, waktu sedang berhenti pada angka 15.06 WIB. Mungkin saja beberapa kalimat setelah tulisan tadi, jarum jam sudah menjalar ke angka-angka setelahnya. Mungkin juga, ketika tulisan ini sudah berhasil dimuat, matahari sudah tak ada, atau bahkan sudah mulai bergulir kematahari dihari berikutnya.
Kata orang, menulis itu merapikan kenangan....
Ini kali kedua aku mengutipnya. Ah, sebenarnya setiap aku ingin memulai bercerita, selalu saja kalimat itu yang muncul pertama kali dan selalu ingin kukutip. Tapi, bagaimana jika kalian bosan membacanya? Lalu, sepersekian detik setelah pertanyaan itu terlontar, aku segera mengganti, tidak, lebih tepatnya terpaksa mencari pengganti kutipan lain. Sayangnya nihil, aku tak jua menemukan kutipan indah yang sepadan. Lantas karena kesal, aku berhenti menulis. Merajuk pada google yang tidak mampu memuaskan pencarianku. Hatiku merajuk, kemudian semua cerita itu menguap begitu saja. Lalu untuk kesekian kalinya, aku gagal merapikan setiap kenangan dan membingkainya dalam sebuah cerita.
Sejujurnya, aku sedang teralihkan pada aplikasi path dan instagram. Yang nyatanya, dua tahun terakhir ini telah membuatku berhenti menulis. Fitur-fitur serba instan, lebih unik, lebih menghibur, lebih cepat diakses semua orang, atau apapun itu, sungguh mampu membuatku terlena dan lupa bagaimana cara membingkai rapi sebuah cerita dalam rangkaian paragraf. Nampaknya memilih foto yang kira-kira akan menghasilkan banyak like dan comment lebih mudah dibanding harus berlama-lama menyusun ratusan kalimat demi sebuah postingan di blog. Lagipula, mengabadikan moment dengan memposting foto lengkap bersama “mini” captionnya sudah cukup mewakili setiap kenangan, bukan?
Kata orang, menulis itu merapikan kenangan....
Ah, sayangnya aku tidak bisa menulis dengan cukup rapi pada aplikasi path ataupun instagram. Sesekali aku mencoba untuk merapikan kenangan disana. Sayangnya “sesekali” juga ada yang meninggalkan pesan sindiran dikolom komentar. “Ini caption apa nulis diary?” Lagi-lagi aku merajuk membacanya. Rindu pada kebebasan menulis seluas-luasnya. Maka, tertanggal tulisan ini dimuat, semoga akan kupenuhi halaman-halaman ini dengan ratusan kenangan yang telah kubingkai rapi.

Monday, December 28, 2015

Dreams?





Keep your heart open to dreams
For as long as there’s a dream, there is hope
And as long as there is hope, there is joy in living
*****
Hai, it’s me Aini!
It been a long time, right?
        Udah lama banget gak nulis di blog. Anybody miss my another “Unanswered Prayer” ? Well, sejujurnya, selama ini saya juga sedang mengumpulkan segala macam jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang saya tuliskan setahun yang lalu. Ada banyak sekali hal-hal yang terjadi didalamnya, yang bahkan pernah membuat saya berada dititik ingin menghapus postingan-postingan blog saya yang dulu. Terutama postingan saya yang terakhir, “Unanswered Prayer”. Tahun 2015, bisa dibilang menjadi tahun yang begitu berharga untuk saya. Bertemu dengan berbagai macam orang dengan segala cerita mengenai mimpi, perjuangan dan bahkan pengalaman-pengalaman hidup mereka yang pada akhirnya membuat saya benar-benar memaknai apa arti kata “Di atas langit masih ada langit”.
Dulu, setelah saya memposting “Unanswered Prayer” saya bertekad akan membuat postingan baru setahun setelahnya untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya disana. Saya berharap, tulisan saya bisa kembali menginspirasi siapapun yang membacanya. Namun, seiring berjalannya waktu, saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Orang-orang dengan mimpi besar, perjuangan besar dan hasil yang besar pula, yang menurut saya, hal tersebut memang patut mereka banggakan. Saat itu, saya berfikir, betapa memalukannya saya dengan mimpi sekecil itu, perjuangan yang masih kecil dengan hasil yang belum patut dibanggakan juga, menulis sebuah postingan yang setelah saya fikir-fikir begitu berlebihan.  Namun, ketika saya ingin menghapusnya, masih saja ada beberapa pembaca blog saya yang menyampaikan bahwa tulisan saya begitu menginspirasi mereka. Hingga pada akhirnya, saya urung untuk menghapusnya.
     Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa mimpi tetaplah sebuah mimpi. Sesederhana apapun mimpi tersebut, ia tetaplah sebuah harapan bagi setiap pemiliknya. Dan pada akhirnya, saya tidak akan menghapus postingan-postingan saya yang dulu. Sesederhana apapun mimpi saya, sekecil apapun usaha saya, dan sebiasa apapun hasil perjuangan saya, ia tetaplah sebuah mimpi. Mimpi yang membuat saya hidup. Mimpi yang membuat saya bangkit dan mimpi yang membuat saya bersyukur.
See you in my another story, guys!
Semoga bisa tetap menginspirasi :)

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...