Saturday, April 28, 2012

Labirin Kesempurnaan


“Labirin Kesempurnaan”
Oleh: Aini Syarifah

K
esempurnaan dimataku, sang sayap kumbang…
Sesungguhnya aku tidak suka menunggu. Benar-benar tidak suka. Bagiku, menunggu adalah hal yang paling memuakkan. Bagaimana tidak? Disaat menunggu, kau hanya bisa terdiam mengikuti alur detik, menyapu pandangan tanpa jeda, dan jika perjalanan detik itu sudah mulai merentet sekian lama, akan mulai muncullah sederet kata-kata tanpa makna. Yang intinya, menunggu itu membuat J-E-N-G-A-H. Benar, bukan?
Tapi, kali ini berbeda. Entah mengapa aku menikmati situasi ini. Seolah-olah sensasi yang disajikan mampu membuatku bertahan untuk tidak jengah. Semilir angin yang merayu helai-helai rambutku, para pejalan kaki yang hilir mudik disampingku, kebulan asap yang mengepul dari secangkir hangat moccachinoku, atau..ah semuanya. Sungguh aku menikmati semua sensasinya. Bahkan aku bisa merasakan sudut-sudut bibirku ini terus mengembang, membentuk sudut setengah lingkaran persis seperti siluet bulan sabit.
Mungkin, kali ini situasinya terlihat berbeda karena aku sedang gembira. Kau tau?  Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku. Ah tidak, maksudku, bagiku dan kekasihku. Ya, hari ini genap tahun ke enam kami berpacaran. Aku tidak menyangka, sudah sejauh ini kami melangkah. Aku selalu berharap, ia menjadi pemegang tahta kerajaanku yang pertama sekaligus yang terakhir. Ditengah usiaku yang sudah mulai beranjak pada angka 20 -..ah tidak, kurasa 21. Ah..bukan-bukan, mungkin 22. Atau bahkan..23, ya? Ah, entahlah. Yang kuingat, antara kedelapan digit angka, dengan kisaran keempat pasangan angka tersebut. Ya, kurasa begitu-, kurasa sudah waktunya untukku memikirkan pembangunan kerajaan baruku. Bagaimana menurutmu? Apakah sudah saatnya untukku memikirkan rancangan gaunku kelak? Atau membayangkan dekorasi gedung resepsi kami nanti? Atau mulai memilih tanggal untuk pernikahan kami esok? Em, atau bahkan mulai mencari informasi tentang Event Organizer terkemuka? Oh ya, bagaimana menurutmu tentang rancangan undangkan pernikahan kami kelak? Apakah aku harus turun tangan langsung untung merancang setiap detail disainnya? Dan bagaimana tentang foto prawedding kami kelak? Apakah aku harus….Oh yatuhan, kurasa alur imajinasiku sudah mulai merong-rong kese     gala penjuru. Membuat bibirku menari nari kecil hingga berakhir pada siluet bulan sabit disudutnya.
Aku segera beralih meraih sebuah cermin yang kuletakkan persis didalam tas pradaku, dan seketika kutemukan biasan wajahku dalam benda itu. Kutemui wajahku yang sedang terlukis siluet bulan sabit disalah satu sudutnya. Aku kembali memandangi cermin itu. Kali ini kutemui siluet bulan sabit itu sedikit pudar, aku menggigit pelan bibir bawahku, keningku sedikit berkerut. Oh tidak, aku terlihat berbeda. Seperti kutemui dua buah tomat yang menempel tepat pada kedua pipi tirusku. Aku tertawa kecil, ya wajahku memerah. Perlahan aku menutup cermin itu tepat disamping cangkir berisi moccachino. Kedua tanganku mulai berjalan, lalu berpangku dan berhenti tepat diujung dagu mungilku, sementara bibirku kembali membentuk sudut setengah lingkaran persis seperti bulan sabit. Kedua bola mataku berbinar, berputar-putar hingga kemudian terhenti dan terdiam.
 Aku kembali tersenyum, kutemui sosok yang kunanti disana. Ia berdiri terdiam, menatapku. Kuikuti arah matanya, kulawan lurus arah pandangannya. Kali ini kedua mata kami bertemu. Aku tersenyum kecil, terus terdiam. Membiarkan korneaku menjelajahi paras tampannya. Paras tampan yang tak pernah kujengahi.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Ia menghambur kearahku. Aku terus menatap paras tampannya. Keningnya sedikit berkerut.
“Menunggumu,”Aku tersenyum kecil. Kulihat ia menghela nafas panjang, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” Lanjutku seraya berdiri. Ia terlihat memutar otaknya, kemudian tersenyum pelan.
“Ya, tentu saja”
Aku ikut tersenyum seraya mendekap raga hangatnya. Ia masih tersenyum, membiarkan ragaku menyelimuti tubuhnya. Kupejamkan mataku perlahan, membiarkan seluruh ragaku merasakan sensasi yang tak pernah jengah untuk kunikmati. Aroma tubuhnya, hangat raganya, hingga detakan selaras irama jantungnya. Sungguh, aku benar-benar menikmatinya. Sementara aku menikmati sensasinya, sang pemilik sensasi itu hanya terdiam, dan -hanya-akan-selalu-terdiam-. Namun, meskipun begitu aku tidak pernah takut akan membuatnya berpaling. Karena didalam rasaku, telah tersimpan jelas sebongkah kepercayaan akan rasanya. Sugesti semu yang sudah kupatenkan sejak dulu, bahwa ia, akan selalu bersamaku.
Kali ini mulai bisa kurasakan sentuhan jemarinya menyambut rengkuhanku. Sudut bibirku seketika mengembang, terukir kembali siluet bulan sabit disana. Perlahan kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya, dibuat kuterbuai lagi oleh sensasinya. Aku kembali terdiam, membiarkan sensasinya menggerogoti labirin paru-paruku, merayap pelan pada dinding-dinding jantungku, hingga akhirnya meranggas habis semua oksigenku. Lumpuh. Benar-benar terasa lumpuh. Ledakan sensasinya memang luar biasa. Ledakan yang mampu mendoktrin fungsi alam bawah sadarku. Bersamanya, aku seperti menjelajahi lembah dunia yang berbeda. Lembah dunia yang bertabur butiran-butiran kebahagiaan. Aku kembali tersenyum, membiarkan nafasku terhela panjang. Kubuka mataku perlahan, dan kutemui senyumnya menyambut tatapanku. Aku ikut tersenyum. Sugesti semuku mulai mengalun, bahwa bersamanya, semua akan baik-baik saja.
Bola mataku berbinar. Seekor kupu-kupu hinggap diatas keindahan. Mengajakku menikmati keelokkan mawar merah yang bertengger dijajaran pot-pot kecil disudut kedai ini. Aku terus menikmati keelokan bunga itu, masih tetap dalam dekapan kekasihku.
Bunga itu memang sempurna, kupu-kupu pun mengakuinya. Tanpa kelopak, kesempurnaan itu hanya akan menjadi nama. Dan keindahan itu akan tertinggal menjadi sebuah elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang melahirkan sebuah kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Sugesti semu itu sudah tertanam, bahwa hadirnya, adalah kesempurnaanku.
Masih bisa kurasakan hangat dekapnya. Sudut bibirku semakin mengembang. Kulepas perlahan rengkuhanku, dan kubiarkan kornea ini menjelajahi parasku yang terbias dalam korneanya. Kutemui siluet bulan sabit dalam sudut bibirnya, paras tampannya kembali melumpuhkan dinding-dinding jantungku. Aku mulai tenggelam dalam kerajaannya, kembali terbuai kedalam lembah dunianya. Bibir mungilku terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku mencintaimu,  Dewangga Putra..”
*****
Kesempurnaan dimataku, sang Kelopak Bunga…
Aku benar-benar engah. Paru-paruku nyaris mengempis secara permanen. Aku sudah nyaris gila, sebelum kutemui sosoknya terpaku didepanku. Seketika kurasakan paru-paruku sudah mulai bekerja secara normal, kala kutemukan senyumnya dalam jaringan korneaku. Aku segera menghambur kearahnya. Kuharap ia baik-baik saja, dan membuat keadaan disekitarnya tetap baik-baik saja. Karena aku takut, jika memorinya terhenti pada titik yang salah, dan delusinya menjalar pada waktu yang tak tepat.
“Yatuhan, apa yang kau lakukan disini?” Keningku sedikit berkerut, namun ditempa senyumnya yang mampu membungkus dengan apik lipatan kerutku.
“Menunggumu,” Ia masih tersenyum, dengan kilatan binar matanya yang berputar-putar, “Kau ingat tentang hari ini, bukan?” lanjutnya seraya berdiri. Satu tungkai kakinya ia buat berdiri, kemudian diketuk-ketuknya pelan pada dinding lantai kedai bergaya khas Indonesia ini. Sementara kedua tangannya terlihat menggeliat pelan secara bergantian, diikuti jari-jemarinya yang menari-nari kecil ditengah tautan genggamannya. Ia masih tersenyum tersipu menanti jawaban.
Tak kusadari bibirku mengikuti langkahnya. Tersenyum kecil seirama dengan nadanya. Kuputar bola mataku perlahan, tidak butuh waktu lama –karena memang aku sudah menduga memorinya akan terhenti pada titik ini- aku mengerti benar apa yang ia maksud. Dan oleh karena itu, aku nyaris mati kepanikan karenanya. Karena kepergiannya secara tiba-tiba. Dan disaat kusadari sosoknya tak ada dalam kamar bercat putih itu, kutemui kalender bertandakan hari istimewa untuknya. Dan untungnya, tertuliskan tempat istimewa disalah satu sudutnya.
“Ya, tentu saja” Aku tersenyum untuknya. Kutemui kedua bola matanya kembali berbinar. Kali ini bisa kurasakan benar aroma shampo nya. Ia mendekapku.
Bisa kurasakan jelas gerakan pelan pipi tirusnya pada dadaku. Membuat jantungku berdesir-desir seirama. Kupejamkan kedua mataku perlahan. Membiarkan raganya menyelimuti dinding-dinding tulang dinginku. Seketika kurasakan kehangatan itu mengalir dan menjalar keseluruh tubuhku. Terus berlanjut hingga terhenti tepat pada jantungku. Dan pada tempat itu, kehangatan itu berubah menjadi pompa yang membuat pacuan jantungku kian kencang. Menciptakan ritme yang tak bercontrol. Aku sudah gila, jantung ini benar-benar tak mau diam. Pacuannya memang dasyat, hingga mampu melumpuhkan sendi-sendi anggota tubuhku. Aku dibuat kaku olehnya.
Semakin kurasakan sensasi rengkuhannya, semakin tak mampu aku untuk menyuarakan sesuatu. Kurasa lidahku sudah mati gaya. Sama sekali tak mampu bergerak untuk merangkaikan sepatah kata. Dan pada akhirnya, aku hanya mampu terdiam, dan akan selalu terdiam. Menikmati sejuta sensasi yang disuguhkan kekasih pujaanku. Meskipun ingatannya tentangku sedang tak tergambar jelas dalam memorinya, aku tidak pernah takut akan membuatnya berpaling. Karena janji semuku sudah kutanam baik-baik dalam hati, bahwa aku akan selalu disampingnya.
Tiba-tiba sebongkah kekuatan itu menyeruak keluar. Mengalirkan energi luar biasa yang kutujukan hanya untuknya. Perlahan, bisa kurasakan jari-jemariku berjalan kearahnya. Mencoba membalas rengkuhan hangatnya. Aku mendekapnya. Erat, begitu erat. Hingga bisa kurasakan daya energi darinya mengalir kedarahku secara luar biasa. Terus kupejamkan mataku disana, membiarkan kehangatan ini terus mengaliri bilik-bilik raga dinginku. Anganku mulai melaju. Berlari-lari bersama sensasinya. Kutemui lembah kehidupan berbeda disana. Lembah kehidupan yang mampu menenangkan jiwa getirku. Aku semakin mendekapnya erat. Mencoba mengajaknya untuk merasakan sensasi lembah kerajaanku. Perlahan, kurasakan rengkuhannya merenggang. Bisa kurasakan helaan ritme nafas lembutnya. Aku tersenyum kecil, menyambut lembut siluet bulan sabitnya. Kulawan lurus arah pandangannya. Seakan membisikkannya akan janji semuku, bahwa bersamaku, ia akan baik-baik saja.
Ia kembali mendekapku. Dan aku menyambut rengkuhannya. Bola mataku berputar, mengikuti alur kumbang yang memainkan sayap-sayapnya. Aku terus mengikuti alur permainannya. Ia masih tetap dalam langkahnya, tidak bisa terbang. Tanpa sayap, kesempurnaan kumbang itu hanya akan menjadi nama. Dan keindahan dari fungsi kumbang itu sendiri hanya akan tertinggal menjadi sebuah elegi semata, tanpa adanya sebuah kelengkapan yang melahirkan sebuah kesempurnaan. Sama sepertiku, seperti alur hidupku. Janji semu itu sudah kupatri, bahwa aku akan menyempurnakan hidupnya.
Masih bisa kurasakan rengkuhannya. Dan sudut bibirku masih terus mengembang karenanya. Perlahan mulai kurasakan rengkuhan itu merenggang. Kutemukan korneanya menyambut lembut biasan wajahku. Kutemui bibir mungilnya terbuka, ia berbisik pelan.
“Aku sangat mencintaimu, Dewangga Putra..”
Kurasakan dentuman hebat menghantam tepat pada ulu hatiku. Seperti ada lubang tusukan disana, perih. Benar-benar perih. Aku ingin merintih, namun tak mampu. Siluet bulan sabitnya terlalu menggoyahkan dinding-dinding keegoanku. Aku tersenyum kecil, mencoba menyambut siluet bulan sabitnya.
Ia kekasihku. Terhitung sejak tiga tahun yang lalu. Kala tahun kedua perjalanan kisah kami, ingatannya mulai melemah. Depresi yang ia derita setahun sebelumnya tiba-tiba menghasilkan efek yang mengguncang dengan hebat fungsi otaknya, membuat memorinya terhapus secara perlahan. Dan akan terhenti pada titik memori yang berubah-ubah. Secara kedokteran, gejala tersebut terjadi karena efek penyakit otak, Alzeimer. Efek lain dari penyakit ini adalah terjadinya delusi, yaitu khayalan yang dianggap benar-benar terjadi secara nyata oleh penderita. Dan saat ini, memorinya sedang berada pada titik dimana depresinya berawal. Memori kala kisah cintanya harus terhenti dengan kekasihnya yang kini sudah tertidur lelap. Sedangkan delusinya, sedang membangun kisah cinta bersama kekasihnya yang masih terajut apik didalam imajinasinya. Dan hari ini, adalah hari dimana perjalanan cintanya dengan kekasihnya terdahulu menginjak tahun keenam.
Aku kembali tersenyum. Memandangnya begitu lekat, kemudian merengkuh raganya pelan kearah dekapanku. Memorinya mungkin akan terus terhapus, namun keyakikanku sudah mengakar, bahwa rasanya untukku akan selalu semu. Biarlah ia memandang dunia dengan kedua bola matanya, aku akan membebaskannya untuk berlari dengan delusinya. Akan selalu kujaga siluet bulan sabit itu, agar tetap berwarna kilat sinar bola matanya. Dan akan selalu kuberdiri disampingnya, menyempurnakan puing-puing delusinya dan menjadikannya sebuah labirin kepastian.
Aku masih terus tersenyum. Kali ini bibir tipisku terbuka, kemudian berbisik pelan.
“Aku pun mencintaimu lebih dari kau mencintai kekasihmu,  Afika Renanta” Aku mengecup keningnya perlahan,
“ Dan kekasihmu saat ini adalah aku, Rangga Pradipta”, lanjutku. Dalam hati, tentunya
*****


Dibalik Fantasi


                                                                “Dibalik Fantasi”
                                                              Oleh: Aini Syarifah.


Ya,
kurasa memang dia yang salah.
Karenanya kita menjadi seperti ini.
Aku seperti tidak mengenalmu.
Kau terlalu sibuk dengannya.
Hingga mungkin ,
tak kau sadari seluruh waktumu tercurah hanya untuknya.
Dia merubahmu,
merubah atmosfer kita,
dan aku tidak suka!

@@@
            Aku tidak tau. Sejak kapan atmosfer ini menjadi berbeda. Mungkin saja sejak asa itu semakin dekat dengannya. Atau lebih tepatnya ketika asa itu sudah mulai terengkuh dalam detiknya. Seketika itu juga dia menjadi berbeda. Hampir seluruh dari waktunya tercurahkan hanya untuk imajinasinya. Aku seperti kehilangan arah langkahnya. Aku menjadi sulit menerka angannya. Sebenarnya ada apa? Apakah aku yang tidak sengaja memancing atmosfer itu untuk berubah? Ataukah memang dia yang menyulap atmosfer itu menjadi seperti ini?
            Dia masih terlihat sibuk berkutat dengan imajinasinya. Kesepuluh jari-jari lentiknya tak henti hentinya menciptakan suara gaduh. Sesekali jemarinya berhenti menari. Seketika itu juga tangan kanannya akan meraih coffemilk yang terpaku tak jauh dari laptop pink-nya, kemudian meneguknya perlahan. Sementara itu, tangannya yang bebas akan ia tekuk 90 derajat. Dan seketika itu pula bola matanya yang bulat seperti boneka akan beralih menatap arloji silver klasiknya. Saat bola matanya berkedip, maka saat itu pula jari-jemari lentiknya akan kembali menari nari. Begitu seterusnya. Sementara aku, hanya duduk terpaku didepannya. Menatapnya membisu dengan segala rutinitasnya yang nyaris membuatku mati kebosanan. Sebenarnya aku sudah muak. Tapi entah mengapa kakiku enggan untuk menjauh. Aku ingin bersamanya. Meskipun ia, seperti tidak bersamaku.
            “Kau boleh meninggalkanku, Kevin.” Suara lembutnya mengalun pelan meski kedua matanya masih enggan untuk beralih dari layar laptopnya.
            “Kau mengusirku secara halus ?” Tanyaku seketika. Aku mencoba mempertontonkan mimik tidak menyenangkan padanya. Ia beralih menatapku sesaat.
            “Tentu saja tidak.”
            “Lantas?”
            “Kau akan mati kebosanan karena ini. ” ia mencoba melipat kedua tangannya diatas meja, ”Dan bukankah lima menit lagi rapat OSIS yang seharusnya kau pimpin akan dimulai ?” Mimikku berubah menjadi sedikit panik. Benar juga. Lima menit lagi rapat OSIS akan dimulai. Bagaimana aku bisa lupa? Ah, bodoh sekali aku!
            “Tidak usah terlalu lama membodohkan diri sendiri.” Ia mencoba berpangku tangan, kemudian menatapku lekat-lekat. Aku semakin panik dibuatnya. Seperti ini. Selalu seperti ini. Aku merasa seperti tersesat dalam sorot matanya, lalu kehilangan arah untuk berfikir, dan kemudian kehilangan kendali untuk menata degup jantungku sendiri.Gila.Ini gila.
Aku tidak tau, sejak kapan rasa ini mulai terkontaminasi dalam jiwaku. Belum lama. Belum cukup lama. Yang aku sadari, dulu aku tidak seperti ini. Dimana kami masih menghabiskan nyaris seluruh dari 24 jam untuk bersama. Aku memang tidak pernah bosan dengannya. Kegembiraan selalu kuraih jika bersamanya. Namun aku tidak menemukan rasa seperti ini saat itu. Rasa yang mendebarkan seperti ini. Apakah aku..? Ah, tidak! Rasa ini masih stagnan. Masih sama seperti dulu. Tidak lebih. Dan tidak boleh lebih. Persahabatan kami tidak akan berubah. Tapi tunggu! Bagaimana jika….
 ”Kau terlalu lama membuang waktumu, Kevin Ghamaliel Genofh.” Aku terkesiap. Tegurannya nyaris membuatku mati berdiri. Aku mencoba beranjak.
“Ya.Kau benar.”
@@@
            “Kau masih saja berkutat dengan novelmu itu?” Aku segera meluncurkan pertanyaan saat melihat sosoknya masih berada ditempat yang sama seperti satu jam yang lalu.
            “Ya.” Sahutnya tanpa menatapku, ”Ada beberapa bagian yang ingin kuubah sebelum novel ini benar benar dicetak.” Aku mengangguk pelan. Kemudian kembali mengambil posisi didepannya. Kembali membisu, lalu menatap segala rutinitasnya yang selalu mampu membuatku nyaris mati kebosanan. Ia menatapku sejenak.
            “Kau bosan menungguku ya?” Aku segera mengubah mimik wajahku.
            “Tentu saja tidak.” Aku tersenyum tipis.
            Tidak salah. Lanjutku dalam hati. Kau terlalu lama membuatku menunggu. Mimpimu itu telah merenggut semua detikmu, detikku, detik kita. Kau seperti menyingkirkanku dari masamu. Sebenarnya aku lelah. Aku muak. Benar benar muak!
            “ Oh.Syukurlah.” bibir tipisnya merekah. Ia menatapku lekat lekat, ”Kau nanti akan datang pada acara bedah buku novel ini, bukan?”
Aku membisu.
Datang? Pada acara bedah buku novel nya? Hahaha. Konyol! Bagaimana bisa aku datang pada acara yang sudah sukses menjadikanku patung murahan baginya? Oh, jangan harap !
            “Entahlah.” Aku mencoba beranjak dari kursi kantin , ”Mungkin tidak.” lanjutku seraya mencoba berlalu.
            “Tidak? Mengapa? ” Pertanyaan itu membuatku terhenti.
            Hahaha. Mengapa? Kau tanya mengapa? Baiklah, sekarang mimpi itu bukan hanya sukses merubah atmosfer ini, tapi juga sukses merubah peraih mimpi itu. Aku semakin tidak mengenalnya!
            “Ha? Kau tanya mengapa?” Aku berpaling. Mencoba meredam emosiku yang sudah terpancing nyaris menyentuh level tertinggi. Ia menatapku sesaat, kemudian tertunduk takut. Aku tau, dia menangkap sinyal amarahku.
            “Kau..marah pa..da…ku?” Tanyanya lirih. Suaranya sedikit bergetar.
            “Hahaha. Entahlah. Bagaimana menurutmu?” Aku mencoba menyentuh dagunya. Memaksanya untuk tidak menunduk. Ia terkesiap.
            “Apa yang membuatmu seperti ini? Kau membuatku ketakutan..”
            “Kau membuatku nyaris mati kebosanan!”
            “Aku…”
            “Aku sungguh tidak tau. Apakah kau berpura-pura tidak tau, atau memang benar-benar tidak tau, Vanella Queensha Jevellyn,” aku menghela nafas sejenak.” Kau berubah. Mimpimu itu membuatmu berubah !”
            “Tidak! Mimpiku tidak bersalah!”
            “Ya. Kurasa memang dia yang salah. Karenanya kita menjadi seperti ini. Aku seperti tidak mengenalmu. Kau terlalu sibuk dengannya. Hingga mungkin, tak kau sadari seluruh waktumu tercurah hanya untuknya. Dia merubahmu. Merubah atmosfer kita. Dan aku tidak suka!”
            Suasana benar-benar memanas. Beberapa pasang mata terlihat memusatkan pandangannya padaku, dan tentunya dia. Aku tidak peduli. Dan tidak ingin peduli. Aku sudah muak!
            Aku masih berdiri didepannya, saat isakannya samar-samar itu mulai mengalun. Parasnya yang cantik sudah memerah, bola matanya yang seperti boneka terlihat sembab. Aku menjadi kebingungan.
            Ia mencoba menyeka bulir bulir itu. Kemudian melangkah kearah meja kantin tempat ia bergulat dengan imajinasinya. Jari-jemarinya mulai bermain diatas meja itu. Sesaat ia mencoba memainkan diatas keybord laptop pink-nya. Kurasa ia mematikan laptopnya. Sesaat kemudian, ia beralih menyapu buku-buku tebalnya. Lalu memasukkannya kedalam tas prada miliknya. Ketika meja itu sudah terlihat bersih, ia mulai menjauh. Menjauh dan terus menjauh, hingga korneaku tak mampu lagi menemukan sosoknya.
@@@
            Aku baru saja berniat untuk merebahkan tubuhku sesaat setelah kamar berpintu putih gading itu kututup kenopnya. Namun sesuatu yang asing memaksaku untuk berpindah halauan. Aku segera duduk ditepi ranjang. Sedangkan jemariku langsung meraih benda asing yang tergeletak rapi diatas meja mungil kamar tidurku. Aku tertegun.
            Sebuah kotak bingkisan berwarna biru soft. Aku mencoba mencari sesuatu diatas kotak bingkisan itu. Tapi nihil, tidak ada nama pengirim yang tertera disana. Tanpa fikir panjang, aku membukanya. Didalamnya terdapat sebuah novel berukuran sedang. Aku membaca judulnya perlahan. ”Nafasmu dalam Fantasiku” Vanella Javellyn, Pemenang Penulis Berbakat Novel Remaja 2009. Bola mataku membulat. Novelnya sudah dicetak…
            Aku membukanya perlahan. Tertulis sebuah kalimat singkat pada lembaran pertama.
            “For someone who always beside me..
            Jantungku sedikit berpacu. Aku segera membuka lembar selanjutnya.
Prolog:
Bukan!!
Jangan salahkan dia.
Dia hanyalah setitik asa yang suci.
Bukan dia yang membuat kita jauh.
Berhentilah merajau,
kau terlalu jauh menerka.
Andai saja kau mau menyimak sebentar saja,
kuyakin kau akan menemukan jawabannya…
            Degup jantungku masih berpacu. Kian berpacu. Seperti terbakar. Aku merasa seperti ada kebaran disini. Dijantung ini…
            Aku terus membaca dari kata ke kata, lembar per lembar, hingga bagian demi bagian.  Aku semakin merasa terbakar. Seperti ada kobaran api di dalam jiwaku. Hal ini memacu jantungku untuk terus berdegup kian kencang. Aku semakin tenggelam dalam imajinasinya..
            Kutemukan semua potongan-potongan kisah itu. Kisah saat nyaris seluruh 24 jam ku berlalu bersamanya. Kisah dimana kami masih tertawa karena permainan konyol, atau menangis karena pertengkaran sepele. Aku semakin terbawa dalam imajinasinya. Ia terus menuntunku untuk bernostagia. Aku semakin terseret dalam lembah dunia fantasinya.
            Kini kutemukan bagian pada fase yang berbeda. Fase dimana mimpi mulai menariknya untuk mundur dari 24 jam ku. Aku merasa sedikit bosan.  Aku tidak suka fase ini. Sangat tidak suka!
“Ya, kurasa memang dia yang salah. Karenanya kita menjadi seperti ini. Aku seperti tidak mengenalmu. Kau terlalu sibuk dengannya. Hingga mungkin, tak kau sadari seluruh waktumu tercurah hanya untuknya. Dia merubahmu, merubah atmosfer kita, dan aku tidak suka.”
Jiwaku kembali terbakar. Kobaran itu semakin membesar. Kutemukan kata-kata itu. Kata-kata yang aku ucapkan saat pertengkaran kami berlangsung beberapa bulan yang lalu. Pertengkaran terakhir kami. Pertengkaran sekaligus percakapan terakhir kami..
“Bukan! Jangan salahkan dia. Dia hanyalah setitik asa yang suci. Bukan dia yang membuat kita jauh. Berhentilah merajau. Kau terlalu jauh menerka. Andai saja kau mau menyimak sebentar saja..Kuyakin kau akan menemukan jawabannya…”
            Kali ini kutemukan kata-kata prolog-nya. Aku tertegun membisu. Kali ini kobaran itu bukan hanya membakar jiwaku, melainkan meranggas oksigenku. Aku tak ubahnya seperti ikan kehabisan air. Sesak, lemas, kosong dan tak berdaya. Rasa-rasanya seperti ada yang membuncah didalam sini. Didalam jiwa ini. Aku semakin tak terkendali. Ia telah mencuri semua kesadaranku.
Epilog:
Kaulah tinta dibalik pena emasku..
Tanpamu asa itu tak akan turun.
Kaulah melodi dibalik nadaku..
Karenamu harmoni itu bisa mengalun.
Kaulah imajinasi dibalik fantasiku..
Olehmu istana itu tercipta.
Maka,
Tetaplah disisiku
Temani langkahku menuju dunia fantasiku,
fantasimu,
fantasi kita..
Karena fantasiku, berakar dinafasmu..
            Aku nyaris kehabisan oksigen, saat kata-kata terakhirnya telah tercerna dalam otakku. Aku bahkan baru tersadar, bahwa selama membaca epilog, nafasku terus tertahan. Aku seperti terbawa dalam diksinya, dan tersesat dalam imajinasinya. Tiba tiba sebuah rasa kembali hadir. Rasa ini, rasa seperti ini. Aku seperti telah terdoktrin olehnya. Otakku hanya terpenuhi oleh bayang-bayang semunya. Lalu kobaran itu menyergap, membesar, semakin menguat, dan akhirnya mengakar. Aku semakin gila dibuatnya. Benar-benar gila. Ya, dia telah membuatku gila. Sekarang aku mengerti, dia bukan hanya mencuri kesadaranku. Melainkan mencuri ruang kosongku….
            Aku baru saja akan beranjak saat selembar kertas terjatuh tepat didepan sepatuku. Aku segera meraihnya.
            Bola mataku membulat seketika sesaat setelah lembaran itu terbaca. Sebuah tiket bedah buku novel pertamanya. Aku tertegun sesaat.
            Acara itu dimulai pukul tiga sore. Sedangkan saat ini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat tiga menit. Aku terlambat. Benar-benar terlambat!
@@@
            Ruangan itu sudah tak berpenghuni saat langkahku terhenti didalamnya. Tidak ada satu sosokpun disana. Siapapun. Aku hanya menemukan sisa-sisa poster bergambar novel beberapa pemenang lomba yang sudah tidak simetris lagi letaknya. Selebihnya, aku hanya melihat kursi-kursi kosong yang sudah tidak tertata rapi. Aku segera beranjak.
@@@
            Langit sudah mulai mengubah tampilannya saat kutemukan sesosok wanita terdiam melawan senja. Tubuhnya yang mungil bertempa dengan biasan mentari. Membuat raganya, seakan bersinar seperti kunang-kunang.
            Tak kutemukan suaraku saat kucoba untuk memanggil namanya. Hanya degup jantungku yang terdengar berlari tak tentu irama. Nyaliku menjadi ciut, ingin melangkah tapi tak mampu. Aku hanya berdiri menunggunya untuk berpaling. Jantungku sungguh berdebar.
            “Kau?” Suara itu membuatku berdesir. Ia berpaling, kemudian menatapku, tapi tidak mendekat. Aku hanya terdiam. Membisu dalam tegang. Aku ingin mendekat, tapi tak mampu. Kakiku terasa berat, nyaliku semakin menciut.
            Ia masih bertahan disana, berdiri dua meter dari tempatku menapak. Ia menatapku lekat-lekat. Lagi-lagi aku dibuat kebingungan olehnya.
“Bukan! Jangan salahkan dia. Dia hanyalah setitik asa yang suci. Bukan dia yang membuat kita jauh. Berhentilah merajau. Kau terlalu jauh menerka. Andai saja kau mau menyimak sebentar saja, kuyakin kau akan menemukan jawabannya…”
            Jiwaku semakin terbakar olehnya. Ia membaca dengan apik prolog novelnya. Tanpa jeda, tanpa cela. Aku nyaris mati terlalu tegang karenanya.
            Suasana hening sejenak. Hanya suara kicauan beberapa burung yang terdengar hilir mudik diatas kami. Selebihnya, aku hanya bisa mendengar degup jantungku yang semakin berantakan. Aku mulai menata irama nafasku, kemudian larut dalam rasaku.
            “Ya, kau memang benar. Aku yang keliru. Asa itu tidak salah, melainkan akulah yang tidak pandai menerka. Aku terlalu sibuk bermain dengan kebingungan, dan terlalu lama bergulat dengan kebodohan. Hingga tak kusadari, peraih-nya telah terluka karenaku. Kini aku mengerti apa yang membuatku seperti ini. Mendekatlah, aku telah menemukan jawabannya…”
@@@
            Kini senja sudah mulai pudar, berganti dengan malam yang bertabur bintang. Disudut danau itu kami menyatu, saling mendekap raga satu sama lain. Mimpinya tidak akan terusik lagi, aku akan menjaganya. Atmosfer itu telah kembali, fantasinya akan selalu kuselimuti. Mulai kini, nafasku akan kudesah untuk langkahnya, wanita yang kucinta.
@@@
           

           

Wednesday, April 18, 2012

Wish in The Twilight


“Wish in The Twilight“
Oleh: Aini Syarifah 

Kalau saja aku masih mampu bersuara
Tak akan kubuang kesempatan itu sia-sia
Akan kuteriak memanggil sang senja  
Agar sang mega mau,
Menenggelamkan janji itu kedalam rengkuhannya..

            Prolog
Orang bilang, dicintai lebih baik dari pada mencintai. Dan mungkin, itu benar. Mungkin juga hal ini yang membuat mereka beranggapan bahwa dicintai sama artinya dengan diberi. Dan mencintai sama artinya dengan memberi. Banyak orang bilang, dicintai tanpa mencintai sama dengan kosong. Sedangan mencintai tanpa dicintai sama dengan sakit. Secara tidak sadar, mereka merumuskan dalam kamus keinginan, bahwa pembalasan cinta adalah wajib hukumnya.
*****
            “Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Seorang wanita cantik mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Laki-laki dengan balutan kaos putih berkerah menampik pandangan.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“ Ia mematri dua bola mata wanita itu dalam korneanya. Membiaskan sebuah senyum simpul didalamnya. Sang wanita merekah,
            “Janji?”
*****
6 bulan sebelumnya..
            “Oh ya?” Damian Anggara tertegun. Sejurus kemudian ia bisa merasakan letupan-letupan bom molotof menghujam tepat pada ulu hatinya, perih.
            Wanita dengan balutan dress putih tulang itu tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya.
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Damian Anggara tersenyum lebar seraya menarik wanita mungil itu kedalam dekapannya, menepiskan sebatas jarak yang tadinya tercipta diantara bangku coklat panjang yang terletak ditengah taman kota. Wanita itu mengeryit.
            “Dear?“
 Damian Anggara tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“ Laki-laki itu semakin mempererat dekapannya.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“ Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Laki-laki itu melepas dekapannya. Ia tersenyum simpul kemudian beralih melirik jam tangan yang terkalung dipergelangan tangan kirinya.
            “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
            Damian Anggara menekan gas mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Bukan karena meeting. Bukan, sesungguhnya meeting itu tidak ada. Meeting itu hanya bualannya belaka. Sekali lagi ia naikkan putaran speedometer mobilnya satu level. Mencoba menggiring Everest putihnya menuju area yang jauh dari keramaian. Jarum speedometernya baru turun dan terhenti saat pandangannya  menangkap erat hamparan perkebunan teh. Dibukanya pintu mobilnya perlahan.
            Sebuah saung berdiri tak jauh dari Everest putihnya. Perlahan, ia mencoba mendekat. Membelainya. Merasakan dengan seksama setiap detail kotak masa silamnya. Warnanya masih coklat usang. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Pilarnya masih kayu keropos--- Bedanya, sekarang semakin keropos dan bahkan nyaris rapuh. Atap saungnya masih kumpulan jerami. Tak ada celah yang berbeda. Sedangkan alasnya masih tatanan bambu. Lengkap dengan ukiran janji yang tertinggal diujung salah satu sisinya. Laki-laki itu menyentuhnya.
            Hatinya kembali bergetar. Ukiran masa kecilnya telah meramu sebuah perih didalamnya. Matanya terpaku tajam, giginya gemeretak, jari-jemarinya mengepal. Ia mengerang keras,
            “Ah, sialan!“ Setitik air mata menyembul dari permukaan korneanya. Memunculkan luapan kesakitan, kepedihan, penyesalan, dan segala macam rasa yang mampu mencerminkan kehancurannya.
            Sepuluh tahun yang lalu. Bersama sosok itu, ia menciptakan janji yang terpatri disalah satu alas saung. Janji yang menguncinya, menekannya, dan bahkan kini menghancurkannya. Setitik air mata itu kembali terjatuh. Membasahi ukiran janjinya yang bahkan telah mustahil untuk luntur. Kepalanya tertunduk. Seiring dengan nafas keputusasannya yang berhembus. Percuma. Janji itu sudah terlanjur mengakar. Tidak bisa luntur, diubah, atau bahkan menghilang. Kalau saja janji itu tidak ada, mungkin semua akan berbeda. Hal ini tidak akan terjadi. Ia tertawa hambar. Membodohkan langkah masa silamnya. Apakah ini memang salahnya? Atau memang ini takdir untuknya? Kalau saja janji itu mampu ia terpa, mungkinkah takdir akan berkata lain? Ia tersenyum masam, menatap nanar ukiran yang mampu menghancurkannya.
            ‘Tara_Dam, sahabat selamanya‘
*****
            Tara Wijaya menunjukkan kelima jarinya pada salah satu EO yang berdiri didepannya. Menandakan kode ‘tunggu sebentar‘ tanpa suara. Sejurus kemudian ia segera membuka flip ponselnya, menjauh dari kerumunan yang nyaris membuat kepalanya berdenyut karena kewalahan.
            “Ya, Hallo?“ Ia segera memberi sapaan saat berhasil menyingkir dari keramaian,
            .....
            “Oh kau, Dam.“
            .....
 “Kurasa,“ ia mencoba melirik kedalam ruang resepsinya. “Hanya tinggal 10% lagi, ada apa?“
....
“Kurasa tak apa jika hanya 2 jam“
....
Okay, tunggu sebentar, ya?“
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?”
Damian Anggara mengangguk. Ia enggan membalas tatapan wanita itu.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“
Pertanyaan itu membuat Damian terdiam. Ia berpaling membalas tatapan wanita yang duduk didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“
 Ia membenarkan. Menatap nanar jalanan ibu kota lewat kaca restorant.
“Oh, begitu. Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Damian terdiam sejenak.
“Baru saja, belum lama.“
Wanita itu mengangguk.
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“
“Suatu saat nanti“
*****
            “Apakah aku membuatmu menunggu lama?“ Tara Wijaya bepaling kearah laki-laki yang duduk dikursi kemudi setelah selesai memasang sabuk pengaman. Laki-laki itu menggeleng pelan dengan seulas senyum.
            “Kita akan kemana, Dam?“
            “Kau akan tahu nanti“
            Tara Wijaya terdiam. Ia membiarkan laki-laki itu membawanya menjauh. Menjauh dari hiruk pikuk ibu kota, kepulan asap dan kemacetan. Perlahan, ia tahu. Laki-laki itu membawanya kedalam dunia masa kecilnya.
            “Tulisan kita masih ada atau tidak ya, Dam?” Wanita dengan balutan jaket merah muda itu merekah. Ia segera berlari menuju saung yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
            “Aku sudah lama sekali tidak kesini. Ternyata tidak ada yang berbeda ya, Dam?“ Lanjutnya. Ia duduk dan tersenyum.
            “Lihat Dam, masih ada“ Senyumnya semakin merekah.
            Tak jauh dari saung, Damian membisu. Wajahnya pucat. Tatapannya nanar. Bagaimana bisa wanita itu terlihat bahagia melihat ukiran itu masih terpatri dengan baik? Sementara ia? Mengutuk habis-habisan akan kehadiran ukiran itu. Akan keabadian ukiran itu. Ia tersenyum hambar. Menertawai kebodohannya.
            Sepuluh tahun yang lalu, janji itu adalah ukiran terindah dimatanya. Sepuluh tahun yang lalu, saung itu adalah tempat termanis diingatannya. Dan sepuluh tahun yang lalu, wanita itu adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.
            Ia kembali tersenyum hambar. Dulu, itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu. Siapa yang tahu pada tahun berikutnya janji itu menekannya? Siapa yang tahu lima tahun berikutnya saung itu menyakitinya? Dan siapa yang tahu empat tahun berikutnya wanita itu menghancurkannya?
            “Dam? Kau baik-baik saja, bukan?“
            Tara Wijaya tersentak. Ia bisa merasakan laki-laki itu mendekapnya. Erat, begitu erat. Nyaris membuat nafasnya tersengal menghilang.
            “Dam, apa yang kau laku---“
            “Ra, Regina itu sepupuku.“
 Tara Wijaya kembali tersentak. Ia mencoba berontak. Tapi tak mampu.
            “Kau pasti tidak mengerti, bukan?“
Wanita itu terdiam.
“Ra, “Damian Anggara terdiam sejenak. Ia semakin mempererat dekapannya. Membisikan suara pada wanita dalam dekapannya,
“aku mencintaimu, “ ucapannya terhenti sejenak.
“melebihi janji kita”
*****
“aku mencintaimu, melebihi janji kita”
Tara Wijaya membisu. Wajahnya pucat pasi. Kalimat terakhir menyengatnya. Melumpuhkan dinding-dingin ketegarannya. Tubuhnya melemas tersungkur dalam dekapan laki-laki itu.
“Maaf Ra, maafkan aku“
Tara Wijaya masih terdiam. Ia masih enggan berkomentar. Jemarinya dingin. Bibirnya kaku. Lidahnya kelu. Setetes air mata jatuh membasahi kemeja laki-laki yang mendekapnya. Mewakili segala kesakitannya yang terkuak tanpa batas.
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?” Tara Wijaya membulatkan mata kecilnya. Ia meletakkan kembali selembar foto yang sudah nyaris 1 menit dipandangnya. Samar-samar diliatnya laki-laki itu mengangguk. Ia tersenyum kecil. Wanita itu cantik. Pantas saja jika sahabatnya jatuh hati. Mereka berdua cocok.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“ Tara Wijaya menyesap perlahan coffe milknya, kemudian kembali menatap laki-laki yang duduk tepat didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“ Laki-laki itu membenarkan. Tara Wijaya tersenyum kecil.
 “Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Tidak ditemuinya sebuah jawaban. Laki-laki didepannya terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit yang sebentar lagi nyaris terkuak.
“Baru saja, belum lama.“
Tara Wijaya kembali mengangguk ditengah senyumnya. Bodoh. Apa yang ada difikirannya? Laki-laki itu sahabatnya. Tidak lebih. Untuk apa dia merasa kecewa? Dan hey, bukankah ia sendiri sudah memiliki seorang kekasih yang bahkan akan menjadi suaminya? Ia tertawa hambar. Suami? Apakah itu nyata?
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“ Ia tak henti-hentinya mengumpati pertanyaan bodohnya. Berkenalan dengan kekasih laki-laki itu? Benar saja? Apakah ia mampu?
“Suatu saat nanti“
*****
Satu bulan setelahnya..
            “Oh ya?” Tara Wijaya tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya. Sial. Kenapa ia harus mengatakan ini?Ia tertawa hambar. Apa salahnya? Toh laki-laki itu tidak akan keberatan. Laki-laki itu pasti senang mendengarnya. Hey, kenapa ia justru sedih?
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Tara Wijaya mengeryit. Seketika ia bisa merasakan dekapan itu. Oh, tidak ini gawat. Bagaimana jika laki-laki itu bisa merasakan degup jantungnya? Hey, tunggu. Dear?
            “Dear?“
 Laki-laki itu tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“
            Tara Wijaya membisu. Ia ingin berucap, tapi tak mampu. Tidak, sesungguhnya tidak aneh. Ia senang mendengarnya. Ucapkan saja sekali lagi. Kata itu begitu indah.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“
Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
‘Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak akan berontak. Berapa kalipun kau memanggilku dengan sebutan itu aku tidak akan melarangnya. Katakan lagi..kumohon..‘
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Wanita itu terdiam. Membiarkan dekapan itu terlepas. Ia tersenyum hambar. Gabriel? “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
Enam bulan setelahnya..
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Tara Wijaya mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Samar-samar ia bisa melihat laki-laki itu mengalihkan pandangan.
Tak ditemui jawaban itu. Ia kembali berpaling. Mencoba menatap laki-laki itu lewat cermin yang terpasang didepannya. Wajahnya kusut.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“
Tara Wijaya merekah, dan kemudian berpaling.
            “Janji?”
            Laki-laki itu mengangguk. Ia kembali berpaling ke arah cermin. Tersenyum masam, menggigit bibir.
            ‘Kenapa kau tidak memberikan alasan saja sih, Dam?‘
*****
            Semakin lama ia tak bisa menahan tetes itu. Gerimis kini semakin deras. Berganti dengan hujan lebat dipelupuk matanya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Menangisi janji itu. Menangisi rasanya. Menangisi rasa laki-laki itu. Menangisi keadaan. Menangisi takdir.
            Takdir? Apakah ini memang takdirnya? Apakah memang laki-laki ini bukan untuknya? Apakah ia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia? Disaat orang lain menunggu pembalasan, haruskah ia mengabaikan sebuah pembalasan? Jika pembalasan itu memaksanya untuk menerpa janji, apakah takdir masih mampu berkata lain? Haruskah takdir itu dikejar? Atau hanya bisa menunggu untuk datang?
            Tara Wijaya terus menguak pertanyaan. Ia benar-benar nyaris gila. Kenyataan ini membekukannya.
*****
            Damian Anggara bersimpuh. Semakin mendekap erat wanita yang jatuh dalam dekapnnya. Ia bisa merasakan kesakitan itu, kerapuhan itu. Perlahan ia bisa merasakan kemejanya basah. Diiringi dengan isakan yang semakin menjadi. Semakin didekapnya wanita itu. Hancur, ia semakin hancur. Untuk pertama kalinya ia melihat wanita yang dicintainya itu begitu rapuh. Nyaris seperti gelas pecah. Ia begitu egois. Membiarkan wanita itu mengetahui rasa yang tak seharusnya menyeruak. Ia telah merobohkan saung itu. Telah menghancurkan perjanjian mereka. Telah merusak segalanya.
            “Maafkan aku Ra..”
*****
            Epilog
Senja mulai membiaskan warnanya. Menggeser langit dengan sensasinya. Dua puluh tahun yang lalu janji itu tercipta disini. Dan sepuluh tahun sesudahnya, janji itu terkoyak ditempat yang sama. Kini pada detik yang baru, kedua sahabat itu kembali bertemu. Masih dengan kedua rasa yang sama.
            “Dam, maukah kau menungguku?” Damian Anggara mengeryit.
            “Untuk?“
            “Membalas rasamu dikehidupan selanjutnya“
Ditengah senja, tatapan mereka bertemu. Tanpa genggaman, tanpa dekapan, dan bahkan tanpa kecupan.  Hanya saling membiaskan sebuah senyum kebahagian.
Cinta bukanlah meributkan siapa yang memberi atau siapa yang diberi. Cinta juga bukan mengharap atau menunggu balasan. Tapi cinta adalah rasa yang tumbuh secara iklas, diucapkan dengan segenap rasa, dan akan selalu bertahan meskipun tak mampu tuk bersama.




Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...