“Dibalik
Fantasi”
Ya,
kurasa memang dia yang salah.
Karenanya kita menjadi seperti ini.
Aku seperti tidak mengenalmu.
Kau terlalu sibuk dengannya.
Hingga mungkin ,
tak kau sadari seluruh waktumu
tercurah hanya untuknya.
Dia merubahmu,
merubah atmosfer kita,
dan aku tidak suka!
@@@
Aku tidak tau. Sejak kapan atmosfer
ini menjadi berbeda. Mungkin saja sejak asa itu semakin dekat dengannya. Atau
lebih tepatnya ketika asa itu sudah mulai terengkuh dalam detiknya. Seketika
itu juga dia menjadi berbeda. Hampir seluruh dari waktunya tercurahkan hanya
untuk imajinasinya. Aku seperti kehilangan arah langkahnya. Aku menjadi sulit
menerka angannya. Sebenarnya ada apa? Apakah aku yang tidak sengaja memancing
atmosfer itu untuk berubah? Ataukah memang dia yang menyulap atmosfer itu
menjadi seperti ini?
Dia masih terlihat sibuk berkutat
dengan imajinasinya. Kesepuluh jari-jari lentiknya tak henti hentinya
menciptakan suara gaduh. Sesekali jemarinya berhenti menari. Seketika itu juga
tangan kanannya akan meraih coffemilk yang terpaku tak jauh dari laptop pink-nya, kemudian meneguknya perlahan. Sementara
itu, tangannya yang bebas akan ia tekuk 90 derajat. Dan seketika itu pula bola
matanya yang bulat seperti boneka akan beralih menatap arloji silver klasiknya. Saat bola matanya berkedip,
maka saat itu pula jari-jemari lentiknya akan kembali menari nari. Begitu
seterusnya. Sementara aku, hanya duduk terpaku didepannya. Menatapnya membisu
dengan segala rutinitasnya yang nyaris membuatku mati kebosanan. Sebenarnya aku
sudah muak. Tapi entah mengapa kakiku enggan untuk menjauh. Aku ingin
bersamanya. Meskipun ia, seperti tidak bersamaku.
“Kau boleh meninggalkanku, Kevin.” Suara
lembutnya mengalun pelan meski kedua matanya masih enggan untuk beralih dari layar
laptopnya.
“Kau mengusirku secara halus ?” Tanyaku
seketika. Aku mencoba mempertontonkan mimik tidak menyenangkan padanya. Ia
beralih menatapku sesaat.
“Tentu saja tidak.”
“Lantas?”
“Kau akan mati kebosanan karena ini.
” ia mencoba melipat kedua tangannya diatas meja, ”Dan bukankah lima menit lagi
rapat OSIS yang seharusnya kau pimpin akan dimulai ?” Mimikku berubah menjadi
sedikit panik. Benar juga. Lima menit lagi rapat OSIS akan dimulai. Bagaimana
aku bisa lupa? Ah, bodoh sekali aku!
“Tidak usah terlalu lama membodohkan
diri sendiri.” Ia mencoba berpangku tangan, kemudian menatapku lekat-lekat. Aku
semakin panik dibuatnya. Seperti ini. Selalu seperti ini. Aku merasa seperti
tersesat dalam sorot matanya, lalu kehilangan arah untuk berfikir, dan kemudian
kehilangan kendali untuk menata degup jantungku sendiri.Gila.Ini gila.
Aku
tidak tau, sejak kapan rasa ini mulai terkontaminasi dalam jiwaku. Belum lama. Belum
cukup lama. Yang aku sadari, dulu aku tidak seperti ini. Dimana kami masih
menghabiskan nyaris seluruh dari 24 jam untuk bersama. Aku memang tidak pernah
bosan dengannya. Kegembiraan selalu kuraih jika bersamanya. Namun aku tidak
menemukan rasa seperti ini saat itu. Rasa yang mendebarkan seperti ini. Apakah
aku..? Ah, tidak! Rasa ini masih stagnan. Masih sama seperti dulu. Tidak lebih.
Dan tidak boleh lebih. Persahabatan kami tidak akan berubah. Tapi tunggu! Bagaimana
jika….
”Kau terlalu lama membuang waktumu, Kevin Ghamaliel
Genofh.” Aku terkesiap. Tegurannya nyaris membuatku mati berdiri. Aku mencoba
beranjak.
“Ya.Kau
benar.”
@@@
“Kau masih saja berkutat dengan
novelmu itu?” Aku segera meluncurkan pertanyaan saat melihat sosoknya masih
berada ditempat yang sama seperti satu jam yang lalu.
“Ya.” Sahutnya tanpa menatapku, ”Ada
beberapa bagian yang ingin kuubah sebelum novel ini benar benar dicetak.” Aku
mengangguk pelan. Kemudian kembali mengambil posisi didepannya. Kembali
membisu, lalu menatap segala rutinitasnya yang selalu mampu membuatku nyaris
mati kebosanan. Ia menatapku sejenak.
“Kau bosan menungguku ya?” Aku
segera mengubah mimik wajahku.
“Tentu saja tidak.” Aku tersenyum
tipis.
Tidak salah. Lanjutku dalam hati. Kau
terlalu lama membuatku menunggu. Mimpimu itu telah merenggut semua detikmu,
detikku, detik kita. Kau seperti menyingkirkanku dari masamu. Sebenarnya aku
lelah. Aku muak. Benar benar muak!
“ Oh.Syukurlah.” bibir tipisnya
merekah. Ia menatapku lekat lekat, ”Kau nanti akan datang pada acara bedah buku
novel ini, bukan?”
Aku
membisu.
Datang?
Pada acara bedah buku novel nya? Hahaha. Konyol! Bagaimana bisa aku datang pada
acara yang sudah sukses menjadikanku patung murahan baginya? Oh, jangan harap !
“Entahlah.” Aku mencoba beranjak
dari kursi kantin , ”Mungkin tidak.” lanjutku seraya mencoba berlalu.
“Tidak? Mengapa? ” Pertanyaan itu
membuatku terhenti.
Hahaha. Mengapa? Kau tanya mengapa?
Baiklah, sekarang mimpi itu bukan hanya sukses merubah atmosfer ini, tapi juga
sukses merubah peraih mimpi itu. Aku semakin tidak mengenalnya!
“Ha? Kau tanya mengapa?” Aku
berpaling. Mencoba meredam emosiku yang sudah terpancing nyaris menyentuh level
tertinggi. Ia menatapku sesaat, kemudian tertunduk takut. Aku tau, dia
menangkap sinyal amarahku.
“Kau..marah pa..da…ku?” Tanyanya
lirih. Suaranya sedikit bergetar.
“Hahaha. Entahlah. Bagaimana
menurutmu?” Aku mencoba menyentuh dagunya. Memaksanya untuk tidak menunduk. Ia
terkesiap.
“Apa yang membuatmu seperti ini? Kau
membuatku ketakutan..”
“Kau membuatku nyaris mati
kebosanan!”
“Aku…”
“Aku sungguh tidak tau. Apakah kau
berpura-pura tidak tau, atau memang benar-benar tidak tau, Vanella Queensha Jevellyn,”
aku menghela nafas sejenak.” Kau berubah. Mimpimu itu membuatmu berubah !”
“Tidak! Mimpiku tidak bersalah!”
“Ya. Kurasa memang dia yang salah. Karenanya
kita menjadi seperti ini. Aku seperti tidak mengenalmu. Kau terlalu sibuk
dengannya. Hingga mungkin, tak kau sadari seluruh waktumu tercurah hanya
untuknya. Dia merubahmu. Merubah atmosfer kita. Dan aku tidak suka!”
Suasana benar-benar memanas. Beberapa
pasang mata terlihat memusatkan pandangannya padaku, dan tentunya dia. Aku
tidak peduli. Dan tidak ingin peduli. Aku sudah muak!
Aku masih berdiri didepannya, saat
isakannya samar-samar itu mulai mengalun. Parasnya yang cantik sudah memerah, bola
matanya yang seperti boneka terlihat sembab. Aku menjadi kebingungan.
Ia mencoba menyeka bulir bulir itu. Kemudian
melangkah kearah meja kantin tempat ia bergulat dengan imajinasinya. Jari-jemarinya
mulai bermain diatas meja itu. Sesaat ia mencoba memainkan diatas keybord
laptop pink-nya. Kurasa ia mematikan
laptopnya. Sesaat kemudian, ia beralih menyapu buku-buku tebalnya. Lalu
memasukkannya kedalam tas prada
miliknya. Ketika meja itu sudah terlihat bersih, ia mulai menjauh. Menjauh dan
terus menjauh, hingga korneaku tak mampu lagi menemukan sosoknya.
@@@
Aku baru saja berniat untuk
merebahkan tubuhku sesaat setelah kamar berpintu putih gading itu kututup
kenopnya. Namun sesuatu yang asing memaksaku untuk berpindah halauan. Aku
segera duduk ditepi ranjang. Sedangkan jemariku langsung meraih benda asing
yang tergeletak rapi diatas meja mungil kamar tidurku. Aku tertegun.
Sebuah kotak bingkisan berwarna biru
soft. Aku mencoba mencari sesuatu
diatas kotak bingkisan itu. Tapi nihil, tidak ada nama pengirim yang tertera
disana. Tanpa fikir panjang, aku membukanya. Didalamnya terdapat sebuah novel
berukuran sedang. Aku membaca judulnya perlahan. ”Nafasmu dalam Fantasiku” Vanella Javellyn, Pemenang Penulis Berbakat
Novel Remaja 2009. Bola mataku membulat. Novelnya sudah dicetak…
Aku membukanya perlahan. Tertulis
sebuah kalimat singkat pada lembaran pertama.
“For
someone who always beside me..”
Jantungku sedikit berpacu. Aku
segera membuka lembar selanjutnya.
Prolog:
Bukan!!
Jangan salahkan dia.
Dia hanyalah setitik asa yang suci.
Bukan dia yang membuat kita jauh.
Berhentilah merajau,
kau terlalu jauh menerka.
Andai saja kau mau menyimak
sebentar saja,
kuyakin kau akan menemukan
jawabannya…
Degup jantungku masih berpacu. Kian
berpacu. Seperti terbakar. Aku merasa seperti ada kebaran disini. Dijantung
ini…
Aku terus membaca dari kata ke kata,
lembar per lembar, hingga bagian demi bagian. Aku semakin merasa terbakar. Seperti ada
kobaran api di dalam jiwaku. Hal ini memacu jantungku untuk terus berdegup kian
kencang. Aku semakin tenggelam dalam imajinasinya..
Kutemukan semua potongan-potongan
kisah itu. Kisah saat nyaris seluruh 24 jam ku berlalu bersamanya. Kisah dimana
kami masih tertawa karena permainan konyol, atau menangis karena pertengkaran
sepele. Aku semakin terbawa dalam imajinasinya. Ia terus menuntunku untuk
bernostagia. Aku semakin terseret dalam lembah dunia fantasinya.
Kini kutemukan bagian pada fase yang
berbeda. Fase dimana mimpi mulai menariknya untuk mundur dari 24 jam ku. Aku
merasa sedikit bosan. Aku tidak suka
fase ini. Sangat tidak suka!
“Ya, kurasa memang dia yang salah. Karenanya
kita menjadi seperti ini. Aku seperti tidak mengenalmu. Kau terlalu sibuk
dengannya. Hingga mungkin, tak kau sadari seluruh waktumu tercurah hanya
untuknya. Dia merubahmu, merubah atmosfer kita, dan aku tidak suka.”
Jiwaku
kembali terbakar. Kobaran itu semakin membesar. Kutemukan kata-kata itu. Kata-kata
yang aku ucapkan saat pertengkaran kami berlangsung beberapa bulan yang lalu. Pertengkaran
terakhir kami. Pertengkaran sekaligus percakapan terakhir kami..
“Bukan! Jangan salahkan dia. Dia hanyalah
setitik asa yang suci. Bukan dia yang membuat kita jauh. Berhentilah merajau.
Kau terlalu jauh menerka. Andai saja kau mau menyimak sebentar saja..Kuyakin
kau akan menemukan jawabannya…”
Kali ini kutemukan kata-kata
prolog-nya. Aku tertegun membisu. Kali ini kobaran itu bukan hanya membakar
jiwaku, melainkan meranggas oksigenku. Aku tak ubahnya seperti ikan kehabisan
air. Sesak, lemas, kosong dan tak berdaya. Rasa-rasanya seperti ada yang
membuncah didalam sini. Didalam jiwa ini. Aku semakin tak terkendali. Ia telah
mencuri semua kesadaranku.
Epilog:
Kaulah tinta dibalik pena emasku..
Tanpamu asa itu tak akan turun.
Kaulah melodi dibalik nadaku..
Karenamu harmoni itu bisa mengalun.
Kaulah imajinasi dibalik fantasiku..
Olehmu istana itu tercipta.
Maka,
Tetaplah
disisiku
Temani langkahku menuju dunia
fantasiku,
fantasimu,
fantasi kita..
Karena fantasiku, berakar
dinafasmu..
Aku nyaris kehabisan oksigen, saat
kata-kata terakhirnya telah tercerna dalam otakku. Aku bahkan baru tersadar,
bahwa selama membaca epilog, nafasku terus tertahan. Aku seperti terbawa dalam
diksinya, dan tersesat dalam imajinasinya. Tiba tiba sebuah rasa kembali hadir.
Rasa ini, rasa seperti ini. Aku seperti telah terdoktrin olehnya. Otakku hanya
terpenuhi oleh bayang-bayang semunya. Lalu kobaran itu menyergap, membesar,
semakin menguat, dan akhirnya mengakar. Aku semakin gila dibuatnya. Benar-benar
gila. Ya, dia telah membuatku gila. Sekarang aku mengerti, dia bukan hanya
mencuri kesadaranku. Melainkan mencuri ruang kosongku….
Aku baru saja akan beranjak saat
selembar kertas terjatuh tepat didepan sepatuku. Aku segera meraihnya.
Bola mataku membulat seketika sesaat
setelah lembaran itu terbaca. Sebuah tiket bedah buku novel pertamanya. Aku tertegun
sesaat.
Acara itu dimulai pukul tiga sore. Sedangkan
saat ini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat tiga menit. Aku
terlambat. Benar-benar terlambat!
@@@
Ruangan itu sudah tak berpenghuni
saat langkahku terhenti didalamnya. Tidak ada satu sosokpun disana. Siapapun. Aku
hanya menemukan sisa-sisa poster bergambar novel beberapa pemenang lomba yang
sudah tidak simetris lagi letaknya. Selebihnya, aku hanya melihat kursi-kursi
kosong yang sudah tidak tertata rapi. Aku segera beranjak.
@@@
Langit sudah mulai mengubah
tampilannya saat kutemukan sesosok wanita terdiam melawan senja. Tubuhnya yang
mungil bertempa dengan biasan mentari. Membuat raganya, seakan bersinar seperti
kunang-kunang.
Tak kutemukan suaraku saat kucoba
untuk memanggil namanya. Hanya degup jantungku yang terdengar berlari tak tentu
irama. Nyaliku menjadi ciut, ingin melangkah tapi tak mampu. Aku hanya berdiri
menunggunya untuk berpaling. Jantungku sungguh berdebar.
“Kau?” Suara itu membuatku berdesir.
Ia berpaling, kemudian menatapku, tapi tidak mendekat. Aku hanya terdiam.
Membisu dalam tegang. Aku ingin mendekat, tapi tak mampu. Kakiku terasa berat,
nyaliku semakin menciut.
Ia masih bertahan disana, berdiri
dua meter dari tempatku menapak. Ia menatapku lekat-lekat. Lagi-lagi aku dibuat
kebingungan olehnya.
“Bukan!
Jangan salahkan dia. Dia hanyalah setitik asa yang suci. Bukan dia yang membuat
kita jauh. Berhentilah merajau. Kau terlalu jauh menerka. Andai saja kau mau
menyimak sebentar saja, kuyakin kau akan menemukan jawabannya…”
Jiwaku semakin terbakar olehnya. Ia
membaca dengan apik prolog novelnya. Tanpa jeda, tanpa cela. Aku nyaris mati
terlalu tegang karenanya.
Suasana hening sejenak. Hanya suara
kicauan beberapa burung yang terdengar hilir mudik diatas kami. Selebihnya, aku
hanya bisa mendengar degup jantungku yang semakin berantakan. Aku mulai menata
irama nafasku, kemudian larut dalam rasaku.
“Ya, kau memang benar. Aku yang
keliru. Asa itu tidak salah, melainkan akulah yang tidak pandai menerka. Aku
terlalu sibuk bermain dengan kebingungan, dan terlalu lama bergulat dengan kebodohan.
Hingga tak kusadari, peraih-nya telah terluka karenaku. Kini aku mengerti apa
yang membuatku seperti ini. Mendekatlah, aku telah menemukan jawabannya…”
@@@
Kini senja sudah mulai pudar, berganti
dengan malam yang bertabur bintang. Disudut danau itu kami menyatu, saling
mendekap raga satu sama lain. Mimpinya tidak akan terusik lagi, aku akan
menjaganya. Atmosfer itu telah kembali, fantasinya akan selalu kuselimuti.
Mulai kini, nafasku akan kudesah untuk langkahnya, wanita yang kucinta.
@@@
No comments:
Post a Comment