Kalau
saja aku seorang kaum adam,
mungkin
aku tidak akan seperti ini,
Menunggu
datangnya pelangi sekalipun gerimis tidak berniat untuk turun.
Kalau
sudah seperti ini,
adakah
yang bisa menghentikanku untuk memanggilnya?
Saat sebuah rasa mulai
tumbuh disini, aku hanya mampu diam. Memendamnya, mengurungnya, menutupinya
lalu membiarkannya membakar rasaku hingga ke akar-akarnya. Menciptakan sebuah
sensasi tekanan luar biasa, lalu memaksaku untuk diam-diam tersiksa didalamnya.
Kalau sudah begini, aku harus bagaimana?
Menciptakan medan
magnet yang mampu menarik kutub positifnya? Ah, tidak. Aku bukan kaum hawa yang
mahir merayu. Lantas? Diam tanpa berbuat apa-apa? Astaga, tidak. Kurasa hal ini
tidak berguna sama sekali. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Menunggu. Ya, kurasa
itu adalah jawaban tunggal. Tidak ada option lain disini. Ini bukan multiple
choice. Bukankah kaum hawa diciptakan hanya untuk menunggu dan menjawab
tiupan dari sang adam?
Ya, mungkin memang
begitu adanya. Tapi, bagaimana jika sang pelangi tak juga muncul ? Haruskah aku
menyaksikan titik-titik gerimis itu menjadi hujan? Jika iya, apa yang bisa
kulakukan untuk merubahnya?
Sudahlah, biarkan saja.
Biarkan ia melunturkan butir-butir air mata didalamnya, melarutkan kekecewaan
bersamanya, dan membiarkan segumpal rasa cinta itu meluruh dengan sendirinya.
Cinta? Apakah benar
jika rasa itu kusebut sebagai cinta? Ah, tidak. Kurasa bukan. Kalimat itu
terlalu saru untuk kuucapkan. Aku hanyalah seorang dari ribuan kaum hawa yang
masih menata nafasnya secara horizontal. Lalu, jika bukan cinta lantas apa
namanya?
Entahlah,
akupun tidak tahu. Bagaimana menurutmu?
No comments:
Post a Comment