Wednesday, April 18, 2012

Wish in The Twilight


“Wish in The Twilight“
Oleh: Aini Syarifah 

Kalau saja aku masih mampu bersuara
Tak akan kubuang kesempatan itu sia-sia
Akan kuteriak memanggil sang senja  
Agar sang mega mau,
Menenggelamkan janji itu kedalam rengkuhannya..

            Prolog
Orang bilang, dicintai lebih baik dari pada mencintai. Dan mungkin, itu benar. Mungkin juga hal ini yang membuat mereka beranggapan bahwa dicintai sama artinya dengan diberi. Dan mencintai sama artinya dengan memberi. Banyak orang bilang, dicintai tanpa mencintai sama dengan kosong. Sedangan mencintai tanpa dicintai sama dengan sakit. Secara tidak sadar, mereka merumuskan dalam kamus keinginan, bahwa pembalasan cinta adalah wajib hukumnya.
*****
            “Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Seorang wanita cantik mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Laki-laki dengan balutan kaos putih berkerah menampik pandangan.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“ Ia mematri dua bola mata wanita itu dalam korneanya. Membiaskan sebuah senyum simpul didalamnya. Sang wanita merekah,
            “Janji?”
*****
6 bulan sebelumnya..
            “Oh ya?” Damian Anggara tertegun. Sejurus kemudian ia bisa merasakan letupan-letupan bom molotof menghujam tepat pada ulu hatinya, perih.
            Wanita dengan balutan dress putih tulang itu tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya.
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Damian Anggara tersenyum lebar seraya menarik wanita mungil itu kedalam dekapannya, menepiskan sebatas jarak yang tadinya tercipta diantara bangku coklat panjang yang terletak ditengah taman kota. Wanita itu mengeryit.
            “Dear?“
 Damian Anggara tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“ Laki-laki itu semakin mempererat dekapannya.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“ Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Laki-laki itu melepas dekapannya. Ia tersenyum simpul kemudian beralih melirik jam tangan yang terkalung dipergelangan tangan kirinya.
            “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
            Damian Anggara menekan gas mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Bukan karena meeting. Bukan, sesungguhnya meeting itu tidak ada. Meeting itu hanya bualannya belaka. Sekali lagi ia naikkan putaran speedometer mobilnya satu level. Mencoba menggiring Everest putihnya menuju area yang jauh dari keramaian. Jarum speedometernya baru turun dan terhenti saat pandangannya  menangkap erat hamparan perkebunan teh. Dibukanya pintu mobilnya perlahan.
            Sebuah saung berdiri tak jauh dari Everest putihnya. Perlahan, ia mencoba mendekat. Membelainya. Merasakan dengan seksama setiap detail kotak masa silamnya. Warnanya masih coklat usang. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Pilarnya masih kayu keropos--- Bedanya, sekarang semakin keropos dan bahkan nyaris rapuh. Atap saungnya masih kumpulan jerami. Tak ada celah yang berbeda. Sedangkan alasnya masih tatanan bambu. Lengkap dengan ukiran janji yang tertinggal diujung salah satu sisinya. Laki-laki itu menyentuhnya.
            Hatinya kembali bergetar. Ukiran masa kecilnya telah meramu sebuah perih didalamnya. Matanya terpaku tajam, giginya gemeretak, jari-jemarinya mengepal. Ia mengerang keras,
            “Ah, sialan!“ Setitik air mata menyembul dari permukaan korneanya. Memunculkan luapan kesakitan, kepedihan, penyesalan, dan segala macam rasa yang mampu mencerminkan kehancurannya.
            Sepuluh tahun yang lalu. Bersama sosok itu, ia menciptakan janji yang terpatri disalah satu alas saung. Janji yang menguncinya, menekannya, dan bahkan kini menghancurkannya. Setitik air mata itu kembali terjatuh. Membasahi ukiran janjinya yang bahkan telah mustahil untuk luntur. Kepalanya tertunduk. Seiring dengan nafas keputusasannya yang berhembus. Percuma. Janji itu sudah terlanjur mengakar. Tidak bisa luntur, diubah, atau bahkan menghilang. Kalau saja janji itu tidak ada, mungkin semua akan berbeda. Hal ini tidak akan terjadi. Ia tertawa hambar. Membodohkan langkah masa silamnya. Apakah ini memang salahnya? Atau memang ini takdir untuknya? Kalau saja janji itu mampu ia terpa, mungkinkah takdir akan berkata lain? Ia tersenyum masam, menatap nanar ukiran yang mampu menghancurkannya.
            ‘Tara_Dam, sahabat selamanya‘
*****
            Tara Wijaya menunjukkan kelima jarinya pada salah satu EO yang berdiri didepannya. Menandakan kode ‘tunggu sebentar‘ tanpa suara. Sejurus kemudian ia segera membuka flip ponselnya, menjauh dari kerumunan yang nyaris membuat kepalanya berdenyut karena kewalahan.
            “Ya, Hallo?“ Ia segera memberi sapaan saat berhasil menyingkir dari keramaian,
            .....
            “Oh kau, Dam.“
            .....
 “Kurasa,“ ia mencoba melirik kedalam ruang resepsinya. “Hanya tinggal 10% lagi, ada apa?“
....
“Kurasa tak apa jika hanya 2 jam“
....
Okay, tunggu sebentar, ya?“
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?”
Damian Anggara mengangguk. Ia enggan membalas tatapan wanita itu.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“
Pertanyaan itu membuat Damian terdiam. Ia berpaling membalas tatapan wanita yang duduk didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“
 Ia membenarkan. Menatap nanar jalanan ibu kota lewat kaca restorant.
“Oh, begitu. Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Damian terdiam sejenak.
“Baru saja, belum lama.“
Wanita itu mengangguk.
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“
“Suatu saat nanti“
*****
            “Apakah aku membuatmu menunggu lama?“ Tara Wijaya bepaling kearah laki-laki yang duduk dikursi kemudi setelah selesai memasang sabuk pengaman. Laki-laki itu menggeleng pelan dengan seulas senyum.
            “Kita akan kemana, Dam?“
            “Kau akan tahu nanti“
            Tara Wijaya terdiam. Ia membiarkan laki-laki itu membawanya menjauh. Menjauh dari hiruk pikuk ibu kota, kepulan asap dan kemacetan. Perlahan, ia tahu. Laki-laki itu membawanya kedalam dunia masa kecilnya.
            “Tulisan kita masih ada atau tidak ya, Dam?” Wanita dengan balutan jaket merah muda itu merekah. Ia segera berlari menuju saung yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
            “Aku sudah lama sekali tidak kesini. Ternyata tidak ada yang berbeda ya, Dam?“ Lanjutnya. Ia duduk dan tersenyum.
            “Lihat Dam, masih ada“ Senyumnya semakin merekah.
            Tak jauh dari saung, Damian membisu. Wajahnya pucat. Tatapannya nanar. Bagaimana bisa wanita itu terlihat bahagia melihat ukiran itu masih terpatri dengan baik? Sementara ia? Mengutuk habis-habisan akan kehadiran ukiran itu. Akan keabadian ukiran itu. Ia tersenyum hambar. Menertawai kebodohannya.
            Sepuluh tahun yang lalu, janji itu adalah ukiran terindah dimatanya. Sepuluh tahun yang lalu, saung itu adalah tempat termanis diingatannya. Dan sepuluh tahun yang lalu, wanita itu adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.
            Ia kembali tersenyum hambar. Dulu, itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu. Siapa yang tahu pada tahun berikutnya janji itu menekannya? Siapa yang tahu lima tahun berikutnya saung itu menyakitinya? Dan siapa yang tahu empat tahun berikutnya wanita itu menghancurkannya?
            “Dam? Kau baik-baik saja, bukan?“
            Tara Wijaya tersentak. Ia bisa merasakan laki-laki itu mendekapnya. Erat, begitu erat. Nyaris membuat nafasnya tersengal menghilang.
            “Dam, apa yang kau laku---“
            “Ra, Regina itu sepupuku.“
 Tara Wijaya kembali tersentak. Ia mencoba berontak. Tapi tak mampu.
            “Kau pasti tidak mengerti, bukan?“
Wanita itu terdiam.
“Ra, “Damian Anggara terdiam sejenak. Ia semakin mempererat dekapannya. Membisikan suara pada wanita dalam dekapannya,
“aku mencintaimu, “ ucapannya terhenti sejenak.
“melebihi janji kita”
*****
“aku mencintaimu, melebihi janji kita”
Tara Wijaya membisu. Wajahnya pucat pasi. Kalimat terakhir menyengatnya. Melumpuhkan dinding-dingin ketegarannya. Tubuhnya melemas tersungkur dalam dekapan laki-laki itu.
“Maaf Ra, maafkan aku“
Tara Wijaya masih terdiam. Ia masih enggan berkomentar. Jemarinya dingin. Bibirnya kaku. Lidahnya kelu. Setetes air mata jatuh membasahi kemeja laki-laki yang mendekapnya. Mewakili segala kesakitannya yang terkuak tanpa batas.
*****
Tujuh bulan yang lalu..
“Putri Regina?” Tara Wijaya membulatkan mata kecilnya. Ia meletakkan kembali selembar foto yang sudah nyaris 1 menit dipandangnya. Samar-samar diliatnya laki-laki itu mengangguk. Ia tersenyum kecil. Wanita itu cantik. Pantas saja jika sahabatnya jatuh hati. Mereka berdua cocok.
“Wajahnya begitu asing bagiku. Apakah aku dulu tidak mengenalnya?“ Tara Wijaya menyesap perlahan coffe milknya, kemudian kembali menatap laki-laki yang duduk tepat didepannya.
“Ya, dia junior kita dan sekarang dia sedang bersekolah di London“ Laki-laki itu membenarkan. Tara Wijaya tersenyum kecil.
 “Lantas, sudah berapa lama kalian jadian? Kenapa kau baru mengatakan padaku sekarang?“
Tidak ditemuinya sebuah jawaban. Laki-laki didepannya terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit yang sebentar lagi nyaris terkuak.
“Baru saja, belum lama.“
Tara Wijaya kembali mengangguk ditengah senyumnya. Bodoh. Apa yang ada difikirannya? Laki-laki itu sahabatnya. Tidak lebih. Untuk apa dia merasa kecewa? Dan hey, bukankah ia sendiri sudah memiliki seorang kekasih yang bahkan akan menjadi suaminya? Ia tertawa hambar. Suami? Apakah itu nyata?
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?“ Ia tak henti-hentinya mengumpati pertanyaan bodohnya. Berkenalan dengan kekasih laki-laki itu? Benar saja? Apakah ia mampu?
“Suatu saat nanti“
*****
Satu bulan setelahnya..
            “Oh ya?” Tara Wijaya tersenyum simpul. Ia menggigit bibir bawahnya. Sial. Kenapa ia harus mengatakan ini?Ia tertawa hambar. Apa salahnya? Toh laki-laki itu tidak akan keberatan. Laki-laki itu pasti senang mendengarnya. Hey, kenapa ia justru sedih?
            “Ya, aku---“
            “Congratulation, dear !“ Tara Wijaya mengeryit. Seketika ia bisa merasakan dekapan itu. Oh, tidak ini gawat. Bagaimana jika laki-laki itu bisa merasakan degup jantungnya? Hey, tunggu. Dear?
            “Dear?“
 Laki-laki itu tertawa lepas.
            “Ada apa? Terdengar aneh, ya?“
            Tara Wijaya membisu. Ia ingin berucap, tapi tak mampu. Tidak, sesungguhnya tidak aneh. Ia senang mendengarnya. Ucapkan saja sekali lagi. Kata itu begitu indah.
            “Jangan berontak, sekali ini saja. Biarkan aku memanggilmu dear, biarkan aku mendekapmu seperti ini. Sekali saja, sebelum hal ini mustahil untuk kulakukan.“
Wanita mungil itu terdiam. Ia membiarkan raganya tenggelam dalam dekapan sahabat kecilnya.
‘Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak akan berontak. Berapa kalipun kau memanggilku dengan sebutan itu aku tidak akan melarangnya. Katakan lagi..kumohon..‘
            “Baiklah, kurasa cukup. Gabriel akan membunuhku jika melihat hal ini terlalu lama.“ Wanita itu terdiam. Membiarkan dekapan itu terlepas. Ia tersenyum hambar. Gabriel? “Kurasa aku harus segera kembali. Jika tidak meetingku akan hancur. Jam istirahatku sudah berlalu 4 menit yang lalu.“
            “Dam---“
            “See you“
*****
Enam bulan setelahnya..
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku, Dam?” Tara Wijaya mengangkat rambutnya tinggi-tinggi keatas dan mulai berputar-putar kecil didepan kaca. Sesekali ia menyelidik dengan seksama setiap detail aksen yang menghiasi gaun pengantinnya, “alasan apa lagi yang ingin kau ucapkan padaku?“ lanjutnya seraya berpaling kearah laki-laki yang terduduk tak jauh dari tempatnya bercermin. Samar-samar ia bisa melihat laki-laki itu mengalihkan pandangan.
Tak ditemui jawaban itu. Ia kembali berpaling. Mencoba menatap laki-laki itu lewat cermin yang terpasang didepannya. Wajahnya kusut.
            “Nanti ya, saat resepsi pernikahan.“
Tara Wijaya merekah, dan kemudian berpaling.
            “Janji?”
            Laki-laki itu mengangguk. Ia kembali berpaling ke arah cermin. Tersenyum masam, menggigit bibir.
            ‘Kenapa kau tidak memberikan alasan saja sih, Dam?‘
*****
            Semakin lama ia tak bisa menahan tetes itu. Gerimis kini semakin deras. Berganti dengan hujan lebat dipelupuk matanya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Menangisi janji itu. Menangisi rasanya. Menangisi rasa laki-laki itu. Menangisi keadaan. Menangisi takdir.
            Takdir? Apakah ini memang takdirnya? Apakah memang laki-laki ini bukan untuknya? Apakah ia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia? Disaat orang lain menunggu pembalasan, haruskah ia mengabaikan sebuah pembalasan? Jika pembalasan itu memaksanya untuk menerpa janji, apakah takdir masih mampu berkata lain? Haruskah takdir itu dikejar? Atau hanya bisa menunggu untuk datang?
            Tara Wijaya terus menguak pertanyaan. Ia benar-benar nyaris gila. Kenyataan ini membekukannya.
*****
            Damian Anggara bersimpuh. Semakin mendekap erat wanita yang jatuh dalam dekapnnya. Ia bisa merasakan kesakitan itu, kerapuhan itu. Perlahan ia bisa merasakan kemejanya basah. Diiringi dengan isakan yang semakin menjadi. Semakin didekapnya wanita itu. Hancur, ia semakin hancur. Untuk pertama kalinya ia melihat wanita yang dicintainya itu begitu rapuh. Nyaris seperti gelas pecah. Ia begitu egois. Membiarkan wanita itu mengetahui rasa yang tak seharusnya menyeruak. Ia telah merobohkan saung itu. Telah menghancurkan perjanjian mereka. Telah merusak segalanya.
            “Maafkan aku Ra..”
*****
            Epilog
Senja mulai membiaskan warnanya. Menggeser langit dengan sensasinya. Dua puluh tahun yang lalu janji itu tercipta disini. Dan sepuluh tahun sesudahnya, janji itu terkoyak ditempat yang sama. Kini pada detik yang baru, kedua sahabat itu kembali bertemu. Masih dengan kedua rasa yang sama.
            “Dam, maukah kau menungguku?” Damian Anggara mengeryit.
            “Untuk?“
            “Membalas rasamu dikehidupan selanjutnya“
Ditengah senja, tatapan mereka bertemu. Tanpa genggaman, tanpa dekapan, dan bahkan tanpa kecupan.  Hanya saling membiaskan sebuah senyum kebahagian.
Cinta bukanlah meributkan siapa yang memberi atau siapa yang diberi. Cinta juga bukan mengharap atau menunggu balasan. Tapi cinta adalah rasa yang tumbuh secara iklas, diucapkan dengan segenap rasa, dan akan selalu bertahan meskipun tak mampu tuk bersama.




Thursday, March 8, 2012

Bunga Kehidupan

“Bunga Kehidupan”
Oleh: Aini Syarifah
A
ku tidak mengerti, mengapa Tuhan menciptakan siang jika sesudahnya akan berganti malam. Mengapa Tuhan menciptakan kebahagiaan jika suatu saat akan merubahnya menjadi kesedihan. Mengapa Tuhan menciptakan pertemuan jika pada waktunya akan berujung pada perpisahan. Dan mengapa Tuhan menciptakan sebuah kehidupan jika nantinya akan berakhir pada kematian …
Aku tidak cukup pandai, untuk memahami sebuah filsafat kehidupan. Kurasa ini terlalu rumit. Terlalu kompleks, terlalu sulit untuk ditarik benang merahnya. Atau mungkin, akulah yang terlalu jauh menerka pertanyaan seperti ini, terlalu jauh berfikir sampai pada titik ini, terlalu jauh memilih topik seperti ini…
Entahlah. Aku pun tidak tahu, apa yang mendorongku hingga mampu berdiri pada titik pemikiran ini. Yang aku sadari, hanyalah rasa berkecamuk didalam batin ini. Aku gila, aku nyaris seperti orang gila. Karena ini, karena batin ini. Aku berperang dengannya, dengan pertanyaan-pertanyaan bodohku. Aku merasa tersiksa olehnya, dan aku ingin mengakhirinya. Tapi bodohnya, aku tidak tahu bagaimana caranya…
………….
Laki-laki berambut cepak itu tersenyum kecil. Ia tidak salah, dugaannya memang tepat dan akurat. Ia tahu, ada yang harus ia lakukan tentang hal ini. Dan ia tidak boleh menundanya lebih lama. Ya, ia tahu benar itu. Laki-laki itu menghela nafas pelan, kemudian beralih menatap samar hamparan pegunungan yang tersaji tepat diseberang tempatnya bersandar. Ia beralih lagi menatap langit. Mega sudah mulai tiba. Menggeser jingga dengan warna petangnya. Kali ini ia mencoba terpejam. Merasakan dengan seksama hembusan angin yang menerpa pori-pori pipi tirusnya. Suara gemerisik dedaunan yang tercipta dari ayunan pohon tempatnya bersandar membuatnya terbuai. Memaksanya terpejam dan menikmati senja ditempat itu lebih lama. Sedikit lebih lama.
*****
Hanya ingin mengembalikan ini.
Aku tidak sengaja menemukannya diperpustakaan.
Datanglah dibawah pohon maru sepulang sekolah nanti jika kau ingin mengetahui aku.
Kuharap kau datang, aku menunggumu J
Gadis berlesung pipit itu terhenyak. Ia segera menutup kembali pintu lokernya, kemudian berlari kencang kearah halaman belakang sekolah. Ia tidak tahu. Benar-benar tidak tahu jika hal ini bisa terjadi. Segala macam fikiran terbesit dalam benaknya. Banyak, begitu banyak. Hingga ia merasa sesak dan nyaris kehabisan oksigen karenanya. Tuhan..betapa bodohnya dia.
“Kau benar-benar datang?” Laki-laki berambut cepak itu tersenyum kecil tanpa berpaling. Ia tetap berdiri menghadap langit sore. Membiarkan tubuhnya bertempa dengan sejuknya angin yang hilir mudik menerpanya. Tak perlu berpaling pun, ia cukup tahu, bahwa suara deruan langkah kaki itu berasal dari satu sumber. Dan ia tahu jawabannya.
“Siapa kau?” Gadis itu terengah dalam tanya. “Apakah kau mencoba membukanya?” Tanyanya mulai bercabang. Laki-laki itu kembali tersenyum. Kali ini ia mencoba berpaling.
“Panggil saja aku David, David Pradana”
Gadis berlesung pipit itu terdiam. Ia menatap lekat sosok yang berdiri tepat didepannya. Laki-laki itu tinggi, dengan balutan seragam yang terlihat sudah sedikit kusam. Mungkin dia kakak kelas disini? Ya mungkin saja. Bola matanya coklat, dengan bibir tipis berwarna merah. Kulitnya putih, begitu putih. Hingga membuat wajahnya terkesan sedikit pucat. Rambutnya hitam dengan potongan cepak. Sementara aroma tubuhnya harum. Seperti aroma mawar.
“Mengapa kau menatapku seperti itu?” Gadis berlesung pipit itu sedikit tersentak. Ia memutar sebentar bola matanya.
“Tidak apa-apa. Jadi, kau membukanya atau tidak?” Ia mencoba mengulang pertanyaan terakhirnya. Laki-laki berambut cepak itu kembali tersenyum.
“Ikuti aku.”
“Tidak. Aku tidak mau,” Laki-laki itu menghentikan langkahnya tanpa berpaling, “Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku. Dan aku sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti langkahmu.” Laki-laki berambut cepak itu berpaling.
“Ikuti aku jika kau mau foto itu kembali.”
Gadis berlesung pipit itu kembali terhenyak. Foto? Otaknya sedikit berputar, kemudian terhenti pada satu titik. Ya tuhan, laki-laki itu mengambilnya. Tidak. Ini tidak mungkin. Laki-laki didepannya mungkin hanya bersandiwara. Tidak. Laki-laki itu tidak berhak melakukan hal ini. Ini sudah keterlaluan. Laki-laki itu mencoba mengusik zona merahnya. Dan ia tidak suka.
“Ikuti aku atau kau akan menyesal”
*****
“Pilih bibit yang kau suka” Laki-laki itu menatap sang gadis tepat didepan kios yang dipenuhi aneka jenis bunga. Kening gadis itu berkerut.
“Tidak mau, aku merasa tidak membutuhkannya.” Nada bicaranya terdengar begitu dingin.
“Baiklah,” Laki-laki itu mencoba berpaling.”Jika memang kau mau aku mero….”
“Tunggu.”
Gadis berlesung pipit itu mencoba menyergah. Ia menghela nafas panjang. Sial. Ia tidak bisa berkutik. Ia tidak suka ditekan, tetapi ia lebih tidak suka jika zona merahnya terusik. Ini zonanya. Dan ia tidak mau orang lain tahu atau bahkan mencoba menerobos masuk untuk mengontaminasi. Tidak. Ia sungguh tidak suka. Tapi bagaimana lagi? Kali ini ia bermain dengan binatang buas, dan ia tak mampu bertindak kecuali mengikuti alur permainan ini. Tak apa, ya, tidak apa-apa. Yang terpenting baginya sekarang adalah mendapatkan kembali foto itu. Meskipun ia, harus sedikit bermain karenanya.
“Baiklah”
“Katakan padanya kau menginginkan bibit mawar putih” Laki-laki itu mencoba menunjuk salah satu wanita yang sedang sibuk dengan aneka bunganya.
“Tidak. Kau saja. Kau yang mengajakku kemari.”
“Ada yang bisa saya bantu ?” Gadis berlesung pipit itu sedikit tersentak. Ia mencoba untuk tersenyum.
“Ya, bibit mawar putih”
Wanita dengan rambut pendek itu tersenyum. Ia menatap gadis yang berdiri didepannya, kemudian beralih menatap pada pandangan gadis itu. Wanita itu mengeryit, kemudian berlalu dan tak butuh waktu lama, ia kembali dengan sekantong bibit mawar putih.
“Berapa bu?” Tanya gadis itu kemudian.
“Lima belas ribu saja” Wanita itu kembali tersenyum.
“Terimakasih.”
*****
Dedaunan pohon maru kembali berdesir. Menari-nari lirih bersama angin senja. Laki-laki berambut cepak itu tersenyum kecil. Tetap menatap sesosok gadis yang sedang sibuk disampingnya. Ia hanya mencoba bersandar dibawah pohon. Mencoba menyilangkan kedua tangannya dibalik rambut cepaknya.
“Sebenarnya apa yang kau mau dariku?” Gadis berlesung pipit itu menggerutu. Kedua tangannya sibuk menuangkan beberapa liter air diatas tanah yang sedikit bergunduk, “Aku sedang tidak ingin bermain,” Ia mencoba membenarkan untaian rambutnya yang terjatuh kedepan. “Apalagi denganmu” Lanjutnya kemudian.
Laki-laki berambut cepak itu hanya tersenyum. Ia beralih menatap hamparan pegunungan yang bertengger diseberang. “Mengapa kau memilih bibit mawar putih?” Bola matanya sedikit berputar dan berhenti pada satu titik. Ia menemukan biasannya dalam bola mata gadis itu.
“Aku yang bertanya lebih dulu. Kenapa kau justru membuat pertanyaan lain?” Gadis itu semakin menggerutu. Ia mencoba berdiri.
“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku?”
“Kau juga”
“Kau mau menjawab pertanyaanku atau aku akan..”
“Ya baiklah, kau memang akan selalu menang kali ini.” Gadis berlesung pipit itu menyerah. Ia melangkah pelan dan terhenti tepat membelakangi laki-laki itu. Rambutnya yang hitam tergerai berayun-ayun bersama angin. Ia menghela nafas pelan.
“Karena aku menginginkannya”
*****
Datanglah lagi sepulang sekolah nanti
Atau kau mau aku melakukan hal yang tidak kau mau.
Aku menunggumu, D.P J
Gadis berlesung pipit itu mendengus pelan. Ia menarik kertas itu dari pintu lokernya. D.P ? David Pradana? Ia mencoba memutar sedikit otaknya. Ya, mungkin saja. Tapi kapan laki-laki itu menempelkan kertas ini? Oh ya, bagaimana juga laki-laki itu mengetahui lokernya? Bukankah pada bukunya tidak ada nomor lokernya? Jadi, bagaimana bisa kemarin laki-laki itu mengembalikan bukunya pada lokernya yang ter..? Terkunci? Ya, lokernya selalu terkunci. Apa mungkin dia anak dari salah satu pengurus sekolah ini? Sehingga dengan mudah laki-laki itu bisa menyabotase kunci lokernya? Ah entahlah, ia tidak ingin berfikir lebih lama. Ia murid baru disini, dan banyak sekali hal yang tidak ia ketahui. Sudahlah sebaiknya ia beranjak saat ini juga.
*****
“Aku yakin kau pasti datang” Laki-laki berambut cepak itu tersenyum tanpa berpaling. Seperti biasa, ia hanya bersandar pada batang pohon maru. Sesekali, ia membiarkan senja menelenggelamkannya dalam mimpi.
Gadis berlesung pipit itu membisu. Ia mencoba jongkok seraya mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya.
“Apa yang ingin kau lakukan?” Laki-laki itu beralih menatap sang gadis.
“Kau bisa melihatnya sendiri, bukan?” Sahut gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya. Ia menutup kembali botol mineralnya setelah menuangkan sedikit isinya pada tanah yang sedikit menggunduk.
“Mengapa kau mau melakukannya?” Laki-laki itu mencoba bertingkah konyol. Ia menatap lekat bola mata hitam gadis itu.
“Karena aku menginginkannya,” Gadis itu berucap datar. Ia mencoba memasukkan kembali botol mineralnya, kemudian berdiri tepat didepan laki-laki itu bersandar. “Sekarang apa lagi yang kau inginkan dariku? Sampai kapan kau mengajakku bermain dengan permainan bodohmu ini? Aku tidak memiliki waktu lama untuk….”
“Sampai bibit itu tumbuh dan berbunga”
*****
Senja terus berlalu. Dibawah pohon maru, gadis berlesung pipit dan laki-laki berambut cepak itu terus menghabiskan senja disana. Menunggu bibit itu terus tumbuh hingga akhirnya berbunga.
“David.” Gadis berlesung pipit itu memanggil pelan. Ia menyandarkan bahunya pada batang pohon maru, sementara matanya terus saja menatap bibit mawar putih yang kini sudah mulai kuncup.
“Ya?”
“Bagaimana kau bisa tau nomor lokerku saat itu? Dan bagaimana kau bisa membuka lokerku?” Laki-laki berambut cepak itu tersenyum.
“Apakah aku harus menjawabnya?”
“Tentu saja. Beri tahu aku. Apakah kau salah seorang kakak kelas disini?”
“Ya”
“Lalu bagaimana kau bisa membuka dan menemukan lokerku?”
“Itu mudah sekali” Gadis berlesung pipit itu terdiam sejenak. Ia memutar kedua bola matanya, kemudian mencoba mencari pertanyaan lain.
“Apakah kau membukanya?” Laki-laki berambut cepak itu terdiam sejenak.
“Bagaimana menurutmu?” Ia menatap lekat bola mata gadis yang duduk bersandar disampingnya.
Gadis berlesung pipit itu terdiam. Ia tidak mampu menjawabnya. Benar juga, bagaimana menurutnya sendiri? Apakah laki-laki itu membukanya? Atau mungkin tidak? Jika iya, bukankah laki-laki itu tahu semua kisahnya? Tapi kenapa laki-laki itu tidak pernah membahas kisahnya sedikitpun? Atau mungkin laki-laki itu tidak membukanya? Tapi bagaimana bisa laki-laki itu menemukan foto yang ia selipkan didalamnya? Atau mungkin, foto itu terjatuh saat laki-laki itu menemukannya? Yatuhan entahlah. Ia benar-benar tidak tahu. Gadis berlesung pipit itu beralih menatap laki-laki yang duduk bersandar disampingnya. Laki-laki itu terpejam. Tersenyum samar ditengah lelapnya. Gadis berlesung pipit itu masih terus menatap sosok yang duduk bersandar disampingnya. Ia mulai tenggelam dalam renungnya. Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini. Sebuah ketenangan. Sebuah ketenangan yang sudah lama menjauh dari hidupnya. Ia beralih menatap senja. Lembut dibalut kemerahan. Cerah dan begitu indah. Ya, indah. Bahkan ia bisa merasakan keindahan itu. Keindahan dunia yang sudah lama tak ia lihat. Mendung itu memang mencoba untuk pergi, namun rasa itu masih mencoba untuk tetap bertahan. Bertahan dan tetap tinggal didalam istananya. Ia tidak akan membiarkannya pergi, sekalipun itu hanya sekejap. Biarkan saja rasa itu hidup, sekalipun hadirnya membunuh puing-puing semangat hidupnya. Biarkan saja rasa itu membunuh, asalkan sosok itu tetap tinggal dalam istananya….
*****
“Sekarang mawarnya sudah berbunga, kau lihat sendiri, bukan?” Gadis berlesung pipit itu tersenyum merekah ditengah senja. Parasnya yang cantik seakan bersinar terbias oleh sang mega. Ia menunjukkan rangkaian mawar putih pada sesosok laki-laki yang duduk bersandar dibawah pohon maru. Laki-laki berambut cepak itu tersenyum. Ia mencoba membuka kedua matanya.
“Mengapa kau memetiknya?” Tanyanya kemudian. Gadis berlesung pipit itu tersenyum kecil.
“Karena aku menginginkannya,” Sahutnya dengan jawaban yang semu. “Sekarang permainannya sudah selesai. Berikan fotonya.” Lanjutnya seraya membuka kelima jari lentiknya kedepan.
“Aku akan memberikannya jika kau memberikan rangkaian mawar putih itu padaku.” Laki-laki berambut cepak itu mencoba bernego. Kening gadis berlesung pipit itu berkerut.
“Tidak, tidak bisa. Bunga ini bukan untukmu, aku harus memberikan bunga ini kepada se…”
“Seorang kekasihmu yang sudah mati?”
Gadis berlesung pipit itu terhenyak. Ia membisu beberapa saat. Tidak, ini tidak mungkin. Laki-laki itu tidak berhak mengatakan hal itu. Oh, tidak. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu sudah benar-benar mengusik zona merahnya. Dan ia, sangat tidak suka.
“Jangan suka menyimpulkan sesuatu terlalu cepat, David Pradana.” Gadis berlesung pipit itu tersenyum dingin. Ia membiarkan langkahnya maju setapak. “Kau boleh saja mengatakan semua hal yang kau suka.” Ia berhenti sejenak.” Tapi aku tidak membiarkan kau mengatakan hal yang tidak aku sukai.” Ia tertawa hambar.” Kau tidak tahu apa yang terjadi, jadi kau tidak berhak menyimpulkan sesuatu sesukamu.” Ia mencoba berpaling. ”Dan satu hal yang perlu kau ketahui, kekasihku belum mati”
“Aku tahu kisahmu, Diana Elina.”
“Oh kau membukanya?” Gadis berlesung pipit itu tersenyum dingin. “Oh tidak, lebih tepatnya kau membacanya?” Ia terkekeh, lalu mencoba untuk berpaling. “Kau,” Kemudian maju setapak.” Pintar sekali ya merusak zona pribadi orang lain.”
“Aku tidak bermaksud seperti itu.” Gadis berlesung pipit itu kembali terkekeh.
“Lantas? Kau ingin menertawakan kisahku, bukan?” Ia kembali tersenyum dingin. “Sudahlah David, aku lelah. Terserah dengan apa yang ingin kau lakukan sekarang. Sungguh aku tidak akan peduli lagi. Kau boleh menganggapku seperti apa. Dan aku tidak akan mempedulikannya.” Gadis itu mencoba beranjak.
“Tunggu.” Laki-laki berambut cepak itu mencoba berseru. “Beri aku waktu sebentar saja untuk bicara.”
Gadis berlesung pipit itu semakin terkekeh. “Memberimu waktu?” Bola matanya sedikit membesar. Kemudian ia kembali terkekeh “Mudah sekali kau meminta itu setelah kau menghancurkan semua zona pribadiku. Kau fikir aku akan..”
“Aku berjanji tidak akan mengusik zona pribadimu lagi jika kau memberiku waktu sebentar saja untuk bicara.”
Gadis berlesung pipit itu terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna ucapan laki-laki yang berdiri tepat didepannya. Tidak ada salahnya jika ia menurutinya. Ya tidak ada salahnya. Ia bisa mendapatkan kembali foto kekasihnya dan ia bisa terbebas dari laki-laki konyol itu. Ya, itu penawaran yang bagus sekali, bukan?
“Baiklah” Laki-laki berambut cepak itu tersenyum pelan. Ia mencoba beranjak, kemudian terhenti tepat membelakangi pohon maru. Kedua tangannya tersimpan manis didalam sakunya.
“Kau bertanya-tanya, bukan? Mengapa Tuhan melakukan sesuatu sesuai kehendaknya?” Ia kembali tersenyum tanpa berpaling. “Apakah kau tidak menyadari? Bahwa sejak awal pertemuan kita, kau sudah menemukan jawabannya.”
Gadis berlesung pipit itu membisu. Ia mencoba memutar otaknya. Tunggu. Menemukan jawabannya? Gadis itu terus berfikir, ia berharap bisa menemukan jawaban itu. Tidak, tapi nihil. Benar-benar nihil. Ia tidak menemukan jawaban apapun. Dimana letak jawabannya?
“Kau ingat, bukan? Saat aku menanyakan padamu, mengapa kau memilih biji bunga mawar putih untuk kau tanam, mengapa kau menyirami dan merawat mawar-mawarmu, dan mengapa kau memetik mawar putihmu itu disaat mereka sedang merekah dan berbunga.” Kening gadis berlesung pipit itu berkerut.
“Apa jawabanmu saat itu, Diana?”
“Karena aku menginginkannya” Laki-laki berambut cepak itu tersenyum.
“Apakah kau menyadari bahwa kau telah menjadi Tuhan bagi kehidupan mereka?” Kening gadis berlesung pipit itu semakin berkerut.
“Bisakah kau menjelaskan dengan lebih rasional, David Pradana? Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mendengar filsafat konyolmu.” Ia semakin menggerutu. Sementara laki-laki berambut cepat itu tetap tersenyum tanpa berpaling.
“Kau tahu, mengapa kau merasa semuanya terlihat tidak adil?” Gadis berlesung pipit itu terkekeh.
“Kau ini menggemaskan sekali ya. Sudahlah David, kau terlalu membuang waktuku. Sebaiknya aku pergi sekarang.” Ia mencoba berpaling, dan kemudian beranjak.
“Jangan sampai kau menyesali semuanya, Diana. Kehilangan bukan satu-satunya alasan yang bisa merusak lembar hidupmu. Bukalah kedua matamu saat ini juga, dan rasakan indahnya dunia dari sisi yang berbeda. Karena mungkin, disaat kau menyadari keindahan itu suatu saat nanti, keadaan sudah tak mampu lagi mengajakmu untuk kembali”
Gadis berlesung pipit itu terhenyak. Ia terdiam sesaat. Mulai bergelut dengan otaknya. Apakah laki-laki itu mengetahui keinginannya untuk mati? Apakah laki-laki itu mengetahui benar perasaannya? Apakah laki-laki itu membaca semua kisahnya? Ya, mungkin begitu. Gadis itu kembali memutar kedua bola matanya. Kemudian terhenti disatu titik. Ia mencoba berpaling, tetapi nihil, sosok itu telah menghilang…
*****
Gadis berlesung pipit itu berjalan gontai ditengah koridor. Fikirannya masih saja terpusat pada kata-kata yang diucapkan laki-laki itu tiga hari yang lalu. Sebenarnya apa yang laki-laki itu inginkan darinya? Apa yang ia maksud dengan tuhan bagi kehidupan mereka? Atau keadaan yang tak mungkin kembali? Yatuhan, laki-laki itu nyaris membuatnya gila. Gadis berlesung pipit itu menghentikan langkahnya tepat pada sebuah loker bernomor 203. Ia mencoba membukanya.
Sebuah amplop berwarna putih gading tergeletak manis didalamnya. Ia mencoba mengambilnya. Tidak ada nama pengirimnya. Tunggu. Siapa yang bisa memasukkan amplop kedalam lokernya kecuali..? Ya, ia tahu. Ia harus kesana sekarang juga.
*****
Halaman belakang sekolah itu sunyi. Tidak ada suara apapun disana. Hanya suara gemerisik dedaunan pohon maru yang sedang sibuk bernyanyi. Selebihnya hanya ayunan rerumputan yang terdengar bergoyang-goyang pelan. Gadis berlesung pipit itu sedikit terengah. Ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Ya, laki-laki berambut cepak itu benar-benar menghilang dari kehidupannya. Perlahan ia mencoba bersandar pada batang pohon maru. Dipandangnya lekat amplop putih itu, ia mencoba menciumnya. Aroma ini, aroma mawar. Persis seperti aroma laki-laki itu. Ia mencoba membuka isi amplop itu perlahan. Ia menarik perlahan isinya, ada dua lembaran disana. Lembaran pertama, adalah foto seorang laki-laki berkaos putih yang sedang tersenyum menatap gadis yang terdiam disampingnya. Sedangkan lembaran yang lain adalah sebuah kertas berwarna putih gading. Ia mencoba membukanya.
Mawar putih itu tlah mati,
Kau merenggut bahagianya..
Sama seperti saat itu,
Kala tuhan merenggut kekasihmu..
Bibit itu kau pilih,
Dan kau sendiri yang menanamnya.
Mereka tidak pernah meminta untuk hidup,
Tapi kau sendiri yang ingin memberinya
Karenamu mereka menjadi kuncup,
Hingga akhirnya mereka merekah dan kemudian berbunga
Bagaimana bisa mereka berterimakasih kepadamu?
Atas segala kehidupan yang telah kau kirimkan.
Karenanya,
Mereka terdiam saat kau mencoba memetik rekahannya
Karena mereka tahu,
Bahwa kau adalah pemilik sejati mereka
Maka mereka tak akan berontak,
Demi kehendakmu yang diatas segala-galanya
Sekalipun kau,
Merenggut hidupnya kala bahagia sedang melingkupi mereka…
Sama sepertimu..
Seperti kisah hidupmu..
Lantas, mengapa kau tidak melakukan hal yang sama seperti mawar putih itu?
Bukalah kedua matamu saat ini juga,
Dan rasakan indahnya dunia dari sisi yang berbeda.
Karena mungkin,
Disaat kau menyadari keindahan itu suatu saat nanti,
Keadaan sudah tak mampu lagi mengajakmu untuk kembali….
Gadis berlesung pipit itu terhenyak. Ia tersandar lemas dibawah pohon maru itu. Benar. Ya laki-laki itu memang benar. Betapa bodohnya ia selama ini, menutup matanya rapat-rapat dan mengunci hatinya kuat-kuat. Ia telah berdosa, benar-benar berdosa. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa yang bisa ia lakukan untuk menebus semua kebodohannya? Yatuhan..bagaimana bisa ia hidup dalam kebutaan? Pertanyaan-pertanyaan yang ia buat selama ini hanyalah pertanyaan-pertanyaan bodoh yang hanya mampu merusak dinding-dinding kelembutan hati Tuhannya.
Perlahan ia bisa merasakan aliran itu melewati pipi lembutnya. Ia terisak lirih. Mencoba tertunduk dan mendekap erat kedua lututnya. Tidak. Ia tidak boleh terus menangis. Percuma. Benar-benar percuma. Yang harus ia lakukan sekarang adalah mencari laki-laki itu. Ya laki-laki itu.
*****
Tidak. Tidak ada yang mengenal laki-laki itu. Ini tidak mungkin. Ia tahu benar laki-laki itu menggunakan seragam sama persis sepertinya. Langkah kaki gadis itu terus melaju. Kemudian terhenti tepat didepan ruangan bercat coklat. Ia segera memasukinya.
Dengan cepat ia membuka lembar demi lembar. Belum ada. Ia belum menemukan nama itu. Tidak, pasti ada ya pasti ada. Ia tidak mau berhenti begitu saja. Bola matanya terhenti tepat pada barisan daftar siswa dengan nama David Pradana. Ia beralih menatap foto yang terpasang tepat disamping nama itu. Benar. Ya, laki-laki itu. Ia menemukannya. Bola matanya beralih menatap keterangan laki-laki itu. Ia terus membacanya.
Nama : David Pradana.
Kelahiran : Jakarta, 23 Januari 1990
Alamat : Komplek Taman Indah no 109 Jakarta Selatan.
Terdaftar : Juli 2004
Lulus : ===Meninggal===
Bola mata gadis itu membulat. Ia semakin terhenyak. Tidak, ini tidak mungkin. Mungkin bukan David Pradana ini. Ia menutup dengan cepat buku tebal bersampul biru tua itu. Kemudian berlari keluar dan masuk kedalam ruang yang terletak tak jauh dari tempat semula. Ia duduk terdiam.
“David Pradana?” Wanita tua dengan rambut putih keriting itu kembali mengulang pertanyaannya. Ia menghela nafas panjang.
Dia meninggal tiga tahun yang laluGadis berlesung pipit itu kembali terhenyak. Ia memutar otaknya perlahan.
Apa penyebabnya bu?Wanita tua itu kembali menghela nafas. Ia beralih menatap langit-langit ruangan bergaya khas belanda.
Karena ia mengetahui bahwa kekasihnya meninggal akibat kecelakaan saat perjalanan menuju tempat ini. Dan berselang beberapa saat, ia gantung diri dibawah pohon maru belakang sekolah.
Gadis berlesung pipit itu kembali terhenyak. Ia benar-benar tak percaya bahwa laki-laki yang selama ini bersamanya adalah raga yang tak bernyawa. Ia terdiam sejenak, kemudian memutar kembali otaknya. Ia mencoba mengingat-ingat setiap kejadian yang ia lakukan bersama laki-laki itu. Kejanggalan itu, ya semua kejanggalan itu. Sekarang ia sudah menemukan semua jawabannya, tanpa kecuali. Ia menghela nafas panjang, kemudian tersenyum kecil kepada wanita tua itu. Seketika ia mencoba beranjak dan kemudian berlalu. Langkahnya terus melaju, hingga akhirnya terhenti pada satu titik. Suara gemerisik dedaunan, alunan rerumputan yang bergoyang-goyang, atau tarian angin yang hilir mudik memainkan helai-helai rambutnya. Ia benar-benar merasakan sensasinya. Perlahan, gadis berlesung pipit itu mencoba menatap lekat langit senja yang mulai turun. Ia tersenyum samar. Ditengah hembusan angin senja, bulu kuduknya mulai berdiri. Aroma mawar itu kembali tercium.
*****

Life isn't always lovely, but it's a beautiful ride

Hai, I know it's already 2018, but how your 2017?  What your best companion? Your best healer? This post probably gonna be s...